“In the sunset of dissolution, everything is illuminated by the aura of nostalgia, even the guillotine.”
The Unbearable Lightness of Being
Balıklıgöl, Şanlıurfa – Türkiye. Angin musim semi lamat-lamat tergelincir dari puncak Pegunungan Taurus, turun melewati dataran tinggi Anatolia, meliuk mengikuti kontur lembah sungai dan perbukitan, dimana dalam salah satu kelokannya, merewak membaluti saya yang sedang duduk di taman. Hari masih menunjukan pukul 7, suasana taman masih sepi hanya saya dan beberapa pengunjung yang duduk mengisi bangku-bangku kosong. Kota Şanlıurfa belum sepenuhnya terjaga, ketika saya jogging pagi sejak dua jam sebelumnya, praktis hanya saya sendiri yang berlarian mengitari bukit taman (konsep lari pagi sepertinya belum dikenal luas di sana). Sambil beristirahat mengeringkan keringat yang cepat tersapu oleh dinginnya angin musim semi, saya duduk di bangku taman sambil membaca buku The Unbearable Lightness of Being karya Milan Kundera. Ketika saya merasa tersesat dalam kalimat-kalimat Kundera yang padat namun berpilin, saya mengecek pesan di aplikasi percakapan ponsel, dan menemukan salah satu grup ramai dipenuhi doa-doa. Dengan perasaan masygul saya memberanikan diri untuk membuka, dan dengan seketika saya mulai melupakan apa yang Kundera tulis dalam bukunya, bahkan sampai tiga hari setelahnya.
Adalah kabar mengenai rekan saya si VE yang sedang mengalami kritis dalam perawatan intensif di rumah sakit. Tanpa perlu googling untuk mengetahui makna istilah-istilah medis yang disampaikan, saya dapat membayangkan kengerian atas konsekuensinya. Kondisi buruk VE memang tak ada yang menduga, jika awal keluhan sakit kepala dalam waktu dua minggu terus memburuk dan langsung menempatkannya pada kondisi titik nadir. Seketika nafas saya terasa berat dan pandangan saya membaur karena pikiran saya menyerana. Saya langsung teringat akan percakapan saya dengan si VE sekitar tiga bulan sebelumnya saat dia masih sangat sehat. Saat saya akan memanaskan bekal makan siang di microwave, saya berbincang dengan VE cukup lama, dimana dia akan mengajukan pertanyaan khasnya, ‘kamu akan jalan-jalan kemana lagi?‘. Saya pikir saya bisa menuliskan secara lengkap transkip percakapan saya dengan si VE siang itu, dan saya selalu senang berbincang dengan VE karena dia memiliki pengamatan tajam dan imajinatif. Maka, di taman Balıklıgöl, saya yang awalnya terperangkap dalam kenangan percakapan dengan si VE di siang itu, merambat dan bertaut menjadi relokasi kenangan perjalanan hidup saya dalam sekian tahun terakhir.