Terbaik dan Terburuk di 2023

“In the sunset of dissolution, everything is illuminated by the aura of nostalgia, even the guillotine.”

Milan Kundera, The Unbearable Lightness of Being

Balıklıgöl, Şanlıurfa – Türkiye. Angin musim semi lamat-lamat tergelincir dari puncak Pegunungan Taurus, turun melewati dataran tinggi Anatolia, meliuk mengikuti kontur lembah sungai dan perbukitan, dimana dalam salah satu kelokannya, merewak membaluti saya yang sedang duduk di taman. Hari masih menunjukan pukul 7, suasana taman masih sepi hanya saya dan beberapa pengunjung yang duduk mengisi bangku-bangku kosong. Kota Şanlıurfa belum sepenuhnya terjaga, ketika saya jogging pagi sejak dua jam sebelumnya, praktis hanya saya sendiri yang berlarian mengitari bukit taman (konsep lari pagi sepertinya belum dikenal luas di sana). Sambil beristirahat mengeringkan keringat yang cepat tersapu oleh dinginnya angin musim semi, saya duduk di bangku taman sambil membaca buku The Unbearable Lightness of Being karya Milan Kundera. Ketika saya merasa tersesat dalam kalimat-kalimat Kundera yang padat namun berpilin, saya mengecek pesan di aplikasi percakapan ponsel, dan menemukan salah satu grup ramai dipenuhi doa-doa. Dengan perasaan masygul saya memberanikan diri untuk membuka, dan dengan seketika saya mulai melupakan apa yang Kundera tulis dalam bukunya, bahkan sampai tiga hari setelahnya.

Adalah kabar mengenai rekan saya si VE yang sedang mengalami kritis dalam perawatan intensif di rumah sakit. Tanpa perlu googling untuk mengetahui makna istilah-istilah medis yang disampaikan, saya dapat membayangkan kengerian atas konsekuensinya. Kondisi buruk VE memang tak ada yang menduga, jika awal keluhan sakit kepala dalam waktu dua minggu terus memburuk dan langsung menempatkannya pada kondisi titik nadir. Seketika nafas saya terasa berat dan pandangan saya membaur karena pikiran saya menyerana. Saya langsung teringat akan percakapan saya dengan si VE sekitar tiga bulan sebelumnya saat dia masih sangat sehat. Saat saya akan memanaskan bekal makan siang di microwave, saya berbincang dengan VE cukup lama, dimana dia akan mengajukan pertanyaan khasnya, ‘kamu akan jalan-jalan kemana lagi?‘. Saya pikir saya bisa menuliskan secara lengkap transkip percakapan saya dengan si VE siang itu, dan saya selalu senang berbincang dengan VE karena dia memiliki pengamatan tajam dan imajinatif. Maka, di taman Balıklıgöl, saya yang awalnya terperangkap dalam kenangan percakapan dengan si VE di siang itu, merambat dan bertaut menjadi relokasi kenangan perjalanan hidup saya dalam sekian tahun terakhir.

Continue reading “Terbaik dan Terburuk di 2023”

Terbaik dan Terburuk di 2022

“To abandon the struggle for private happiness, to expel all eagerness of temporary desire, to burn with passion for eternal things – this is emancipation, and this is the free man’s worship.”
― Bertrand Russell, Mysticism and Logic

Terutama dalam tiga tahun terakhir secara beruntun, tulisan refleksi tahunan saya acap kali dikeluhkan terlalu muram, pesimistik, dan udam. Beberapa ada yang sampai mengirimkan pesan pribadi untuk memastikan saya memang masih baik-baik saja. Saya tentunya masih sehat dan selamat, dengan banyak hal yang harus saya syukuri. Melampaui tiga tahun yang membuat kebas tersebut, saya akan mencoba menuliskan refleksi tahun 2022 sekarang dengan lebih optimistik dan ceria. Bisa kah saya? Haha. Continue reading “Terbaik dan Terburuk di 2022”

Gunung Agung (Juli 2022)

“To enjoy bodily warmth, some small part of you must be cold, for there is no quality in this world that is not what it is merely by contrast. Nothing exists in itself. If you flatter yourself that you are all over comfortable, and have been so a long time, then you cannot be said to be comfortable any more. For this reason a sleeping apartment should never be furnished with a fire, which is one of the luxurious discomforts of the rich. For the height of this sort of deliciousness is to have nothing but the blanket between you and your snugness and the cold of the outer air. Then there you lie like the one warm spark in the heart of an arctic crystal.”
Herman Melville, Moby-Dick or, the Whale

Gunung Agung adalah salah satu gunung yang saya anggap paling elusif. Lokasinya relatif dekat dari Jawa, tetapi perlu puluhan tahun sejak pertama kali saya mulai melakukan hobi pendakian untuk bisa mendaki Gunung Agung. Dari berbagai pulau besar di Indonesia, kecuali Papua, hampir semua gunung utama di pulau-pulau besar mulai dari Sumatera hingga Maluku dan Nusa Tenggara sudah pernah saya daki. Jadi memang sedikit memalukan karena ketika saya sudah mendaki gunung-gunung bahkan di luar negeri, Gunung Agung terlewat begitu saja. Bukannya saya tidak berniat, setidaknya saya sudah merencanakan sampai tiga kali pendakian ke Gunung Agung. Dua pertama gagal karena Gunung Agung malah memasuki fase aktif meletus beruntun hampir 3 tahun dari 2017-2019, sedangkan perencanaan ketiga gagal karena saya harus pergi ke luar negri. Saya awalnya menganggap jika lokasinya yang dekat membuat berpikir jika saya bisa mengunjunginya kapan saja. Semakin ditunda malah akhirnya semakin terlupa. Ketika saya berdiri di puncak Gunung Rinjani di bulan Mei 2022, di mana saya bisa menyaksikan Gunung Agung di sebelah barat, godaan untuk menaklukan puncak Gunung Agung tetiba meluap begitu saja dan langsung saya masukkan ke dalam daftar tujuan pendakian saya berikutnya. Dan saya punya rencana tambahan sendiri untuk pendakian Agung tersebut. Sebagai gunung yang belum tertaklukan, saya ingin menjadikan pendakian tersebut seistimewa mungkin agar menjadi salah satu pendakian paling mengesankan.

Continue reading “Gunung Agung (Juli 2022)”

Gunung Rinjani (Mei 2022)

“Under the thinning fog the surf curled and creamed, almost without sound, like a thought trying to form inself on the edge of consciousness.”

Raymond Chandler, The Big Sleep

Ketika saya menuliskan tentang pendakian Rinjani di tahun 2015 lalu, saya mendeklarasikan jika pemandangan di Rinjani sangat luar biasa elok, dan pemandangan sunrise di puncaknya adalah salah satu yang paling cantik yang pernah saya saksikan. Dan sudah hampir tujuh tahun berlalu. Sudah saatnya saya mengunjungi kembali Si Jelita. Maka setelah saptawarsa yang bergejolak penuh warna, saya kembali ke Rinjani, yang saya awalnya niatkan untuk menjadi pendakian nostalgia, ternyata malah menjadi perjalanan yang membaurkan lara, suka, cita, kenangan, dengan segumpal bayang-bayang yang menghantui saya bahkan setelah saya kembali ke rumah. Continue reading “Gunung Rinjani (Mei 2022)”

Terbaik dan Terburuk di 2021

“Only in chaos are we conceivable.”
Roberto Bolaño, 2666

‘A cold coming we had of it, just the worst time of the year*. Sepanjang seperempat pertama tahun 2021, saya seperti sedang berjalan dalam Limbo-nya Dante. Sementara bagi kebanyakan orang, tahun 2020 sendiri sudah terasa bak kiamat–neraka sesungguhnya belum datang. Lelah dengan kekacauan dan rentetan kabar nestapa di 2020 karena pandemi, banyak orang–termasuk saya–merasa jika awal tahun 2021 terlihat sebagai sebuah titik balik tahun 2020. Vaksin COVID mulai digulirkan di awal 2021, membawa angin pengharapan dan janji kebebasan. Letih dengan kekangan sepanjang tahun sebelumnya dan kabar euforia khasiat vaksin, dengan emosi yang rapuh dan mental yang linglung, orang-orang yang menduga akan masuk fase Paradiso mulai beraktivitas seperti biasa. Padahal Limbo adalah fase pertama dari kengerian yang sesungguhnya yang kadang melenakan dan menyesatkan: kita menyongsong gerbang Inferno.

Dalam karya monumental Divine Comedy-nya Dante Alighieri, hampir di semua bagian kanto Inferno, neraka selalu digambarkan sebagai tempat penuh penderitaan dan siksaan. Detail kepedihan dan kesengsaraan selalu menjadi bagian tak terpisahkan, kecuali hanya di satu bab, neraka tingkat pertama: Limbo. Dari kesembilan lapis neraka, Limbo sebagai lapisan pertama adalah bagian paling berbeda sekaligus paling menarik. Di neraka tingkat ini tidak ada api hukuman, teror kekerasan, jiwa-jiwa penderitaan, dan hal-hal lain yang mengandung kengerian. Pada kanto keempat Inferno, Limbo malah digambarkan sebagai tempat tenang dan sesungguhnya dihuni oleh mereka yang sebelumnya hidup dengan berbuat kebajikan (dan bukan pendosa berat). Limbo adalah tempat bagi mereka yang tersesat tidak menemukan iman selama hidupnya dan selamanya akan tersesat dalam suasana gamang tidak berkesudahan namun tidak dikenai siksaan, tinggal sedikit lagi saja masuk ke neraka sesungguhnya.

Dan entah mengapa awal tahun 2021 saya merasakan orang-orang berada pada kondisi Limbo. Suasana kegamangan dan keresahan akibat pandemi, membuat orang-orang mulai bermain ‘api’ seperti berkumpul bersama dan menganggap wabah covid sudah usai. Frustasi karena tekanan ekonomi atau sekedar kebosanan kelamaan di rumah, orang-orang mulai beraktivitas dengan linglung seperti orang-orang yang ditemui Dante di Limbo sehingga mereka lupa jika pandemi belum berakhir. Dan kondisi rapuh Limbo ini ternyata terbukti benar ketika varian delta virus COVID datang. Euforia, ketidakwaspadaan, kecerobohan, kenekatan, kepandiran, kekeraskepalaan, dan keacuhan, telah mengantarkan kita pada tsunami pandemi yang begitu menyakitkan. Balasan yang amat mahal menelan korban-korban jiwa yang tak seperti tahun 2020, tsunami korban covid tahun 2021 langsung menghantam orang-orang pada lingkar terdekat secara serempak dan beruntun tak berkesudahan. Rasa putus asa dan penyesalan menjadi tak berguna. Tangisan, jeritan, dan ratapan serentak terdengar dimana-mana. Inferno-nya Dante telah termanifestasi dalam bentuk wabah yang mengganas. Harapan sepertinya sudah musnah dan menguap entah kemana. Prediksi paling muram dan suram tampaknya sudah mewujud. Kita kalah oleh sesuatu yang semestinya dapat diduga. Dan pada kanto ke IV Inferno, Dante menulis: For this failure and for no other fault; Here we are lost, and our sole punishment; Is without hope to live on in desire. Continue reading “Terbaik dan Terburuk di 2021”

Terbaik dan Terburuk di 2020

 “The truth about the world, he said, is that anything is possible. Had you not seen it all from birth and thereby bled it of its strangeness it would appear to you for what it is, a hat trick in a medicine show, a fevered dream, a trance bepopulate with chimeras having neither analogue nor precedent, an itinerant carnival, a migratory tentshow whose ultimate destination after many a pitch in many a mudded field is unspeakable and calamitous beyond reckoning.

The universe is no narrow thing and the order within it is not constrained by any latitude in its conception to repeat what exists in one part in any other part. Even in this world more things exist without our knowledge than with it and the order in creation which you see is that which you have put there, like a string in a maze, so that you shall not lose your way. For existence has its own order and that no man's mind can compass, that mind itself being but a fact among others.”
― Cormac McCarthy, Blood Meridian, or the Evening Redness in the West

Maret 2020. Saya dan beberapa rekan sedang menikmati makan malam yang terlambat. Kami baru sampai di kaki gunung setelah senja turun–setelah pendakian 2 malam melelahkan di sebuah gunung yang menjulang lebih dari 4000 meter di atas permukaan laut. Setelah mandi dan ganti baju di hotel, kami baru sempat makan malam jam 8 lewat. Dengan perut yang sangat lapar, kaki yang ekstra lejar, badan yang super letih, kami memutuskan untuk berpesta pora makan menu seafood di pinggir pantai. Kami memesan sedemikian banyak sehingga saat mulut dirasa sudah tak sanggup lagi mengunyah, masih datang lobster seukuran tangan yang membuat kami saling menuding siapa yang memesan menu tersebut–meski awalnya kami sampai melakukan suit siapa yang harus menghabiskan lobster tersebut, tapi nyatanya sambil dicicil dengan ngobrol bergunjing, akhirnya tandas semua makanan di meja yang sangat banyaknya itu. Hampir tengah malam ketika kami selesai melahap segala yang tersaji di meja. Sambil tetap melanjutkan ngobrol ngelantur, dengan mata setengah mengantuk sambil menerawang jauh ke siluet gelap gunung yang baru saja saya daki sehari sebelumnya, dengan nada cemas yang suram saya berujar berulang-ulang, “the end is near… the end is near…”

Ujaran semi nubuat itu tentu saja merujuk pada wabah COVID-19 (saat itu namanya masih wabah flu wuhan). Meski wabah belum menyebar luas ke negara yang saya datangi tersebut, tetapi penerbangan-penerbangan dari negara Tiongkok sudah dilarang sehingga gunung yang biasanya ramai oleh turis Tiongkok, pas saya daki terasa sepi. Saat tiba di hotel setelah turun gunung, saya menonton berita di TV hotel jika ada pesawat dari Tiongkok yang langsung dipulangkan ke negaranya padahal baru mendarat di bandara negara tempat saya berada saat itu.  Berita-berita dari Wuhan yang mencemaskan dan mengerikan betapa cepat dan parahnya virus tersebut menular, membuat saya sangat cemas jika wabah akan menular dan menyebar ke semua negara lain. Kekacauan akan merembet bak api yang membakar di padang meranggas ke semua bangsa. Ketika ujaran nubuat tadi saya lontarkan, teman saya menangkis, ‘kamu kok pesimistis amat sih? Lagian yang seusia-usia kita bakal selamat kok, hanya menyerang orang tua,‘ yang langsung saya potong jika saya bukan pesimistis tapi justru realistis. Saya menambahkan jika saya sebetulnya terlampau optimistis, karena yang lebih buruk di luar bayangan terburuk saya bisa saja terjadi dan menjadi-jadi. Sambil melanjutkan nubuat saya berkata jika kemungkinan trip berikutnya–kami berencana pergi ke kawasan lingkar Arktik di musim panas–akan batal karena penerbangan akan ditutup ke mana-mana. Teman saya masih bersikukuh jika saya terlampau pencemas. Dan saya benci jika saya benar. Hari terus bergulir, selang seminggu dari nubuat itu, nyatanya bandara ditutup untuk kedatangan internasional. Mimpi buruk tahun 2020 satu demi satu menjadi kenyataan dengan konsekuensi yang tak terduga dan menyakitkan. Continue reading “Terbaik dan Terburuk di 2020”

Terbaik dan Terburuk di 2019

“Could it be because it reminds us that we are alive, of our mortality, of our individual souls- which, after all, we are too afraid to surrender but yet make us feel more miserable than any other thing? But isn’t it also pain that often makes us most aware of self? It is a terrible thing to learn as a child that one is a being separate from the world, that no one and no thing hurts along with one’s burned tongues and skinned knees, that one’s aches and pains are all one’s own. Even more terrible, as we grow old, to learn that no person, no matter how beloved, can ever truly understand us. Our own selves make us most unhappy, and that’s why we’re so anxious to lose them, don’t you think?”
― Donna Tartt, The Secret History

Butte-Montmartre, Paris. Saya terbangun jam 2 dini hari oleh dingin yang tetiba menyelusup karena saya lalai mengenakan kaos kaki sebelum tidur. Tapi bagaimanapun bukan sekedar hawa dingin yang membuat saya terbangun. Sebelumnya saya memang tak bisa tidur nyenyak karena terbangunkan oleh mimpi-mimpi rambang yang saya tak ingat persis apa saja, campur aduk antara bayangan sosok samar, selebihnya sesuatu yang tak jelas namun sangat mengganggu dan membuat saya terbangun dalam kondisi lelah. Tidur yang jauh dari kata lelap tersebut, memang bukan satu malam itu saja, tapi melewati malam berminggu-minggu sebelumnya. Siklus tidur kacau dan tak biasa ini memang bersumber pada hal-hal yang menjadikan tahun 2019 sebagai salah satu tahun terberat yang pernah saya jalani. Namun, sebagaimana halnya tahun-tahun lain yang telah terlalui, tentu saja tak ada juga hal-hal baik yang terjadi. Merefleksikan apa yang telah saya jalani sepanjang tahun 2019, menjadikan tahun 2019 sebagai tahun teraneh dimana mimpi terbaik dan terburuk saya terjadi di saat bersamaan. Continue reading “Terbaik dan Terburuk di 2019”

Andes Mountains [bag. 1]

Plenty of feeling, plenty of kisses, plenty of love boom from a multicolored jukebox and in the back, behind the smoke, the noise, the solid smell of food and liquor, the dancing swarms of flies, there is a punctured wall—stones, shacks, a strip of river, the leaden sky—and an ample woman bathed in sweat manipulates pots and pans surrounded by the sputter of a grill
― Mario Vargas LlosaConversation in the Cathedral

Peru. Perkenalan saya dengan Peru dimulai jauh sebelum saya memahami konsep geografi, jarak, dan hal-hal teknis seperti suku bangsa dan perbedaan benua. Adalah serial komik Tintin yang mengenalkan saya pada eksotisme Peru (dan juga negara-negara lain yang dia kunjungi dalam petualangan-petualangannya). Pada salah satu seri petualangannya yang berjudul Prisoners of the Sun, Tintin dan kawan-kawan mengawali petualangannya di kota tepi laut Callao di bagian barat Peru untuk kemudian berlanjut ke rimba tropis di jantung pegunungan Andes di mana kuil-kuil misterius dengan berbagai pintu rahasia mengantarkan mereka pada ruangan yang berisi mumi yang dikutuk dan penuh harta karun. Setiap membaca Tintin, biasanya saya ditemani buku atlas dan saya akan segera mencari lokasi yang disebutkan di komik dalam peta yang disajikan sambil menebak-nebak seberapa jauh lokasi yang disebutkan dengan kota di mana saya tinggal saat itu. Dalam pikiran sempit saya kala itu, saya tak dapat membayangkan akan sejauh apa rumah saya dari Peru kecuali menebak-nebak tak pasti perlu waktu berhari-hari untuk bisa ke sana dengan biaya yang tak murah (tabungan saya di celengan tak akan pernah mencapai angka total biaya yang dibutuhkan seberapapun keras saya menabung). Semakin bertambah usia, dengan realita muram yang semakin tergambar nyata, mimpi untuk mengunjungi Peru terasa semakin mengabur karena gambaran jauhnya jarak yang harus ditempuh dan besarnya biaya yang dibutuhkan. Maka, ketika akhirnya saya benar-benar menginjak tanah di lokasi yang sama dengan Tintin mengawali petualangannya di Callao, udaranya terasa sangat familiar (udara yang sudah saya mimpikan dan bayangkan sejak zaman sekolah dasar), perasaan merinding itu begitu terasa mulai dari saya mendarat di kedatangan hingga kepulangan saya setelahnya. Continue reading “Andes Mountains [bag. 1]”

Karakoram-Himalaya Mountains [bag.5]

“You can look at a picture for a week and never think of it again. You can also look at a picture for a second and think of it all your life.”
― Donna TarttThe Goldfinch

Karena kamar tidur saya terpisah berada di lantai 1 yang harus keluar dulu untuk mencapainya, begitu keluar dari ruangan berkumpul lantai 2, saya menuruni tangga dan berjalan menyusuri parit kecil di tepi penginapan. Di desa yang lokasinya ada di jantung Himalaya ini, listrik hanya menyala dari jam 8 sampai 11 malam saja tiap harinya. Meski saat saya keluar itu listrik sudah mati, langit musim panas yang bersih tanpa awan membuat bulan kuarsa yang belum bundar sempurna membagikan cukup terangnya sehingga saya dapat berjalan tanpa perlu menyalakan lampu senter. Bahkan air parit yang bersumber dari lelehan es di puncak gunung dan amat jernih secara samar-samar berkilap memantulkan cahaya bulan redup. Saat saya mengalihkan pandangan pada gunung batu tinggi yang puncaknya ditutupi es putih (andai malam itu purnama, es di pucak gunung mungkin akan bersinar), melampaui ladang buckwheat yang siap dipanen, menghampar naik turun mengikuti kontur topografi yang miskin kawasan datar, menyambung terus sampai akhirnya dibatasi oleh sungai deras yang sayup-sayup terdengar gemuruhnya. Bintang-bintang berwarna perak semarak di langit membuat saya bertanya-tanya kapan terakhir kali saya melihat langit segemerlap dan sebanyak itu. Saya mematung hampir sepuluh menit sampai lamat-lamat angin Himalaya yang dingin mengusap lembut leher saya, memberi nasihat lirih jika saya tak bisa berlama-lama berdiri di luar sana jika tak ingin masuk angin. Ah, siapa yang tak terpesona oleh malam hening dan magis seperti itu? Sebelum saya menutup pintu, saya mengintip ke ladang-ladang buckwheat yang hening, mengharap dan memastikan apakah ada peri-peri dan pegasus malu-malu yang akhirnya akan keluar dari persembunyiannya, tergoda oleh aroma dan suasana malam yang kedamaian dan ketenangannya begitu menyihir? Continue reading “Karakoram-Himalaya Mountains [bag.5]”

Karakoram-Himalaya Mountains [bag.4]

“When you feel homesick,’ he said, ‘just look up. Because the moon is the same wherever you go.”
Donna Tartt, The Goldfinch

Sehari sebelumnya, saya menghabiskan waktu seharian untuk perjalanan dari kota Srinagar ke kota Kargil, melewati jalanan di lereng Himalaya yang kering kerontang dengan puncak-puncak tajam dan jurang menganga dalam dengan keindahan dan keajaiban yang mencekam. Pada hari berikutnya–dan juga hari-hari selanjutnya, saya menghabiskan waktu lebih banyak lagi di jalanan. Hal ini disebabkan karena tujuan yang akan saya datangi saling berjauhan di mana untuk menuju satu tempat memakan waktu seharian perjalanan. Dan seperti kata pameo yang sering digaung-gaungkan di buku-buku motivasi pengembangan diri: Proses lebih penting ketimbang tujuan. Perjalanan saya ke jantung Himalaya dan Karakoram membuktikan kebenaran pameo tsersebut. Menghabiskan waktu berhari-hari di jalanan Himalaya-Karakoram, mungkin adalah cara terbaik untuk menikmati keindahannya, ketimbang diam di tempat di satu tujuan. Continue reading “Karakoram-Himalaya Mountains [bag.4]”