Quanology: Evolution & You (John Khoury)

“Seen in the light of evolution, biology is, perhaps, intellectually the most satisfying and inspiring science. Without that light it becomes a pile of sundry facts — some of them interesting or curious but making no meaningful picture as a whole.”
—Theodosius Dobzhansky, Nothing in Biology Makes Sense Except in the Light of Evolution

Quanology: Evolution & You
Quanology: Evolution & You book cover

This book reminds me of Dobzhansky’s brilliant classic essay, Nothing in Biology Makes Sense Except in the Light of Evolution (1973)*. Dobzhansky clearly and beautifully stated that evolution is not only just a scientific theory that applied in biology field, but also a ‘light’ that give us new insights of our life meaning and its place in universe. It implied to not only scientific method but also philosophical method to understand our life’s meaning. You can interpret it as physical or spiritual perspective. No matter what your belief is, atheism or religion, evolution will give you an elegant way to look at life.

Continue reading “Quanology: Evolution & You (John Khoury)”

Gunung Gede-Pangrango, April 2015

Winter kept us warm, covering
Earth in forgetful snow, feeding
A little life with dried tubers.
― T.S. Eliot, The Waste Land

Musim dingin hangatkan kita, selimuti. Pendakian ke Gede-Pangrango April lalu, memiliki catatan sendiri dalam timeline pendakian saya. Pendakian tersebut adalah pendakian ke-35000 meter saya (akumulasi tinggi gunung-gunung yang telah didaki), pendakian pertama yang benar-benar tepat terjadi di hari lahir saya, dan juga mungkin salah satu pendakian terberat saya sejauh ini.

Pendakian tsb nyaris bisa dikatakan sebagai sebuah kenekatan atau malah bisa dikatakan nyaris sebuah kegilaan. Kami mendaki dua puncak sekaligus, plus dilakukan saat musim penghujan. Pendakian dua puncak sekaligus bisa dikategorikan sebagai kegilaan, dan mendaki gunung yang terkenal sadis dalam rute dan jalur yang sulit, bisa dikatakan sebagai sebuah upaya bunuh diri. Dan untuk efek hiperbolis dan dramatis, hal ini dilakukan di musim penghujan.

Yeah, saya sendiri sedikit menyesal saat mendakinya, haha. Untung saja peralatan tenda/logistik diangkut porter, sehingga mengurangi beban derita secara drastis. Tetapi tetap saja, medan yang berat membuat tim kami babak belur. Jatuh bangun, dalam arti kiasan maupun harfiah.

Continue reading “Gunung Gede-Pangrango, April 2015”

Cain (José Saramago)

doubt is the privilege of those who have lived a long time,
― José Saramago, Cain

Saya pertama kali mengenal nama Saramago, pemenang Nobel Sastra 1998, dari novel Blindness dan tak perlu usaha keras untuk langsung jatuh cinta dengannya. Saramago adalah sebuah contoh paling nyata dan paling terang bagaimana sebuah keberanian (atau malah kenekatan) dipadukan dengan kepiawaian bercerita dan kejeniusan menyusun kata, bisa menjadi sebuah mahakarya literasi tak tertandingi. Dan novel Cain ini, bisa menjadi salah satu contoh kisah keberanian ini.

 

13318584
Apakah Cain sesungguhnya adalah seorang “Kesatria Iman”?

 

Continue reading “Cain (José Saramago)”

Gunung Manglayang, April 2015

“April is the cruelest month, breeding
lilacs out of the dead land, mixing
memory and desire, stirring
dull roots with spring rain.”
― T.S. Eliot, The Waste Land

The Waste Land, telah resmi menjadi book of the month saya di bulan April. Banyak elemen di buku ini yang begitu bertalian erat dengan kehidupan saya di bulan April, setidaknya beberapa hari menjelang bulan April.

April adalah bulan terkejam, semaikan. Saya merasa, April tahun ini benar-benar menjadi lebih bengis daripada bulan lainnya. Menjelang April, dunia saya mengalami jungkir balik karena terjadi peristiwa yang tak mengenakkan. Bahkan salah satu peristiwa paling membuat-langit-terasa-runtuh terjadi di bulan April tahun ini. Emang sedikit lebay sih, tapi setidaknya, saat itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir udara yang saya hirup terasa lebih pekat dan berat daripada biasanya. Sampai-sampai, teman-teman saya yang membaca timeline Path saya merasa janggal dengan saya yang baru–untungnya hal tsb tidak saya bagikan juga di timeline FB saya. Bisa-bisa saya dicap anak alay. Haha. Continue reading “Gunung Manglayang, April 2015”

Gunung Gamalama, Maret 2015

Jujur saja, perjalanan saya ke Maluku Utara yang lalu adalah perjalanan paling tidak siap yang pernah saya jalanin. Haha. Pegal-pegal bekas hiking Lawu belum reda, harus sudah mulai hiking lagi. Yang parah adalah, tas keril eks-Lawu belum dibongkar sampai sore keberangkatan, sementara jam 8 saya harus sudah sampai bandara. Alhasil, ketika saya berkemas-kemas dan mengambil satu judul buku untuk dibawa liburan, saya tak melihat judul buku yang dibawa, langsung dimasukkan saja.

Jadi, bayangkan, saat di ruang lounge bandara dan saya mengeluarkan buku berjudul Religion for Atheists: A Non-believer’s Guide to the Uses of Religion karya Alain de Botton, teman-teman saya pada tarik nafas dalam dan memancarkan pandangan tuduhan you-must-be-fun-at-party sementara saya hanya bisa menatap pasrah minta maaf dengan pandangan memelas emangnya-saya-keliatan-mau-bawa-buku-ginian-buat-liburan? Alhasil, buku tsb hanya bisa terbaca belasan halaman saja saat menunggu di lounge bandara. Saat di Maluku, saya sendiri sudah lupa kalau saya pernah membawa buku tsb, haha. Continue reading “Gunung Gamalama, Maret 2015”

Supermen of Malegaon (Faiza Ahmad Khan, 2008, India)

Saya jarang menonton film India. Jadi banyak film India yang mencengangkan terlewat begitu saja dari radar andai tidak diberitahukan oleh kawan-kawan dari forum diskusi. Saya hampir melewatkan film Ship of Theseus (2013) begitu saja padahal film ini menjadi film terfavorit saya di tahun 2013 lalu. Pun Supermen of Malegaon, saya harus tertunda selama 7 tahun untuk menyaksikan film luar biasa ini.

 

images-111664
Mungkin ini yang akan saya minta dari Super-Man jika bertemu, meminta dia menggoreng kerupuk dan gorengan dengan mata lasernya

 

Jika ada pepatah jangan menilai sebuah buku dari sampulnya, maka pepatah untuk film ini adalah jangan menilai sebuah film dari posternya. Ya, posternya norak banget. Karena nyatanya film ini bercerita tentang pembuatan film yang norak juga. Tapi ada sesuatu lain yang sangat menghujam dalam saat menyaksikan film ini. Film ini, mungkin salah satu film paling menghentak yang saya saksikan sepanjang tahun ini. Continue reading “Supermen of Malegaon (Faiza Ahmad Khan, 2008, India)”

Gunung Lawu, Februari 2015

Sudah sejak lama sekali sih saya ingin mendaki Gunung Lawu. Bukan saja karena keindahannya yang menjadi buah bibir, tapi bagi saya, Gunung Lawu adalah salah satu keping puzzle paling menarik dalam sejarah nasional. Peristiwa G30S, peristiwa Reformasi 1998, kehidupan prasejarah Nusantara praabad V, dan terutama era transisi Hindu-Islam adalah beberapa peristiwa dalam sejarah nasional yang menarik minat saya karena begitu banyakanya keping puzzle yang hilang. Tidak pernah ada buku sejarah yang bisa menuliskan dengan lengkap dan memuaskan tentang apa saja yang terjadi pada periode gelap ini. Continue reading “Gunung Lawu, Februari 2015”

Gunung Burangrang, Januari 2015

Mengandalkan citra live satelit cuaca, minggu kedua Januari lalu saya nekat hiking ke Burangrang meski sudah masuk musim penghujan. Tidak sepenuhnya akurat–cuaca lokal seperti hujan gunung memang tidak ditampilkan dalam citra satelit tsb–akhirnya saya mengalami juga hujan lebat di tengah gunung. Terakhir kehujanan kayaknya pas camping zaman SMA. Untungnya hujannya tidak lama, cuma sekitar 2 jam-an dan siang-siang sehingga tidak mengganggu waktu tidur waktu malam. Tapi lumayan lebat juga sih.

Karena Burangrang merupakan gunung yang suka dipakai latihan oleh TNI, perizinan mendaki ke sana agak sulit terutama kalau sedang dipakai latihan oleh mereka. Syukurnya kemarin sedang tidak digunakan latihan. Hanya ditanya-tanya sedikit mengenai tujuan dan rute pendakian saja.

Rute pendakian ada dua, lewat perkebunan (yang lebih singkat) dan lewat air terjung Layung (yang lebih memutar). Rombongan saya mengambil alternatif kedua (karena berangkat pagi sehingga perkiraan waktunya cukup sampai puncak sebelum malam).

Karena musim hujan, medan yang ditempuh cukup sulit, dedaunan yang licin dan lapisan mudcake yang gampang sekali bikin kepleset jika tak waspada. Jadi, meski rutenya tidak terlalu panjang, tetapi karena medan yang kurang kondusif sedikit keteteran juga sih. Tak mengejutkan jika beberapa spot ada epitaph-epitaph (batu penanda bahwa seseorang pernah meninggal di tempat tsb). Melihat epitaph di tengah gunung, selalu membuat saya merinding. Bukan dalam artian takut, tetapi lebih ke arah ‘sedih’.

Continue reading “Gunung Burangrang, Januari 2015”

Gunung Kendang, Januari 2015

Awalnya saya sama sekali gak berniat mendaki gunung di akhir tahun kemarin. Mudik ke rumah tanpa membawa peralatan hiking seperti tas, jaket, sepatu, dsb, saya memang merencanakan untuk menghabiskan akhir tahun dengan keluarga (sudah berbulan-bulan gak pulang, hehe). Tetapi, you know lah, saat teman-teman almamater kuliah mengajak hiking akhir tahun (disertai dengan ejekan-cibiran ‘anak mami’ dan hal-hal yang tak layak didengar lainnya) saya terpaksa setuju ikut mereka.

Karena tanggal 31 Januari sudah saya rencanakan untuk full acara keluarga, saya menego mereka untuk mengadakan acara pendakian ke gunung yang tidak jauh dari rumah dan waktunya pun cuma sehari, 30-31 Desember. Setelah menghasilkan 600-an pesan WA bertubi-tubi yang datang dengan jeda beberapa milidetik, akhirnya terpilih Gunung Kendang. Uh. Continue reading “Gunung Kendang, Januari 2015”

After I was Born

“Who what am I? My answer: I am everyone everything whose being-in-the-world affected was affected by mine. I am anything that happens after I’ve gone which would not have happened if I had not come. Nor am I particularly exceptional in this matter; each ‘I’, every one of the now-six-hundred-million-plus of us, contains a similar multitude. I repeat for the last time: to understand me, you’ll have to swallow the world.”
― Salman Rushdie, Midnight’s Children

There are two things that define me; reading and travelling.

When I was a little, I had a book before I could read. That’s because when I was 4 years old, I asked my parents to buy me a book though I still couldn’t read. The book itself was without any pictures and contained over 300 pages, about the history of religion and god. In fact, I finished it when I was nine.

Continue reading “After I was Born”