Terbaik dan Terburuk di 2023

“In the sunset of dissolution, everything is illuminated by the aura of nostalgia, even the guillotine.”

Milan Kundera, The Unbearable Lightness of Being

Balıklıgöl, Şanlıurfa – Türkiye. Angin musim semi lamat-lamat tergelincir dari puncak Pegunungan Taurus, turun melewati dataran tinggi Anatolia, meliuk mengikuti kontur lembah sungai dan perbukitan, dimana dalam salah satu kelokannya, merewak membaluti saya yang sedang duduk di taman. Hari masih menunjukan pukul 7, suasana taman masih sepi hanya saya dan beberapa pengunjung yang duduk mengisi bangku-bangku kosong. Kota Şanlıurfa belum sepenuhnya terjaga, ketika saya jogging pagi sejak dua jam sebelumnya, praktis hanya saya sendiri yang berlarian mengitari bukit taman (konsep lari pagi sepertinya belum dikenal luas di sana). Sambil beristirahat mengeringkan keringat yang cepat tersapu oleh dinginnya angin musim semi, saya duduk di bangku taman sambil membaca buku The Unbearable Lightness of Being karya Milan Kundera. Ketika saya merasa tersesat dalam kalimat-kalimat Kundera yang padat namun berpilin, saya mengecek pesan di aplikasi percakapan ponsel, dan menemukan salah satu grup ramai dipenuhi doa-doa. Dengan perasaan masygul saya memberanikan diri untuk membuka, dan dengan seketika saya mulai melupakan apa yang Kundera tulis dalam bukunya, bahkan sampai tiga hari setelahnya.

Adalah kabar mengenai rekan saya si VE yang sedang mengalami kritis dalam perawatan intensif di rumah sakit. Tanpa perlu googling untuk mengetahui makna istilah-istilah medis yang disampaikan, saya dapat membayangkan kengerian atas konsekuensinya. Kondisi buruk VE memang tak ada yang menduga, jika awal keluhan sakit kepala dalam waktu dua minggu terus memburuk dan langsung menempatkannya pada kondisi titik nadir. Seketika nafas saya terasa berat dan pandangan saya membaur karena pikiran saya menyerana. Saya langsung teringat akan percakapan saya dengan si VE sekitar tiga bulan sebelumnya saat dia masih sangat sehat. Saat saya akan memanaskan bekal makan siang di microwave, saya berbincang dengan VE cukup lama, dimana dia akan mengajukan pertanyaan khasnya, ‘kamu akan jalan-jalan kemana lagi?‘. Saya pikir saya bisa menuliskan secara lengkap transkip percakapan saya dengan si VE siang itu, dan saya selalu senang berbincang dengan VE karena dia memiliki pengamatan tajam dan imajinatif. Maka, di taman Balıklıgöl, saya yang awalnya terperangkap dalam kenangan percakapan dengan si VE di siang itu, merambat dan bertaut menjadi relokasi kenangan perjalanan hidup saya dalam sekian tahun terakhir.

Continue reading “Terbaik dan Terburuk di 2023”

Gunung Phnom Aoral (Kamboja), Agustus 2015 [bag. 2]

“At Ongcor [Angkor], there are …ruins of such grandeur… that, at the first view, one is filled with profound admiration, and cannot but ask what has become of this powerful race, so civilized, so enlightened, the authors of these gigantic works?”

—Henri Mouhot, Travels in the Central Parts of Indo-China (Siam), Cambodia, and Laos During the Years 1858, 1859, and 1860

Perjalanan saya ke Kamboja adalah perjalanan untuk belajar mengenai penerimaan. Penerimaan bahwa apa yang kita miliki tidak sedahsyat yang kita kira–ada langit di atas langit, penerimaan bahwa keragaman sosial-budaya-historis tiap negara adalah unik, penerimaan bahwa sifat dasar manusia tak bisa ditentukan baik dan jahat semata, penerimaan bahwa dengan mengunjungi tempat lain akan memperluas cakrawala pemahaman kita untuk mengerti makna eksistensi kita. Meskipun itu harus dilakukan dengan cara yang menghentak, kadang.  Continue reading “Gunung Phnom Aoral (Kamboja), Agustus 2015 [bag. 2]”

Gunung Phnom Aoral (Kamboja), Agustus 2015 [bag. 1]

“Why they are doing this, Pa?” Kim asks.
“because they are destroyers of things.”
―Loung Ung, First They Killed My Father p. 27

Pendakian ke Phnom Aoral bagi saya bukan sebuah pendakian biasa sebagaimana yang selama ini saya jalani. Pendakian ke gunung tsb adalah sebuah upaya relokasi kenangan dan trauma. Bahkan di tempat sesenyap dan seterpencil ini, jejak berdarah kekejaman Khmer Merah yang sudah berumur 40 tahun masih menjangkau dan tercium jelas. Nama Pol Pot dan genosida memang sudah bak keping koin dengan dua sisi yang tak terpisahkan. Dan, entah mengapa, dengan segala luka dan jejak dosa di sana, mengingatkan saya pada rumah tempat tinggal saya, Indonesia. Indonesia, punya luka dan dosa yang sama dengan Kamboja. Dan keduanya, berusaha melupakan aib lama itu dengan malu dan enggan, dianggap seolah tak pernah ada, dan tak pernah mengaku dan meminta maaf kepada para korban. Continue reading “Gunung Phnom Aoral (Kamboja), Agustus 2015 [bag. 1]”