Peak District National Park, Derbyshire, Inggris [bag. 2]

But the fool on the hill
Sees the sun going down
And the eyes in his head
See the world spinning round

― The Beatles, The Fool on the Hill

Jika saya menjadi seorang Julie Andrews maka saya sudah pasti menari-nari, melompat-lompat, bahkan berguling-guling sambil menyanyikan lagu seperti yang dia lakukan di film klasik fenomenal The Sound of Music (1965). Tentu saja saya tak melakukan itu semua karena akan tampak konyol jika dilihat orang lain, haha, meski saya tetap melakukan guling-guling di atas rumputnya sih. Di sini, udara terasa ringan. Tak beraroma, tak ada rasa panas atau dingin, tanpa ada kelembapan, tak mengandung butiran apapun murni seperti habis disuling. Tak ada beban sama sekali saat menghirupnya, membuat saya menghirup udara begitu perlahan tanpa ada ketergesaan. What a wonderful air! What a wonderful air! What a wonderful air! Saya mengucapkan mantra ini berkali-kali dengan mata terpejam sambil mengambil nafas dengan indera berusaha mengecap segala rasa di sekitar. Ah, siapa sangka jika tak jauh dari bukit permai dengan padang rumput hijau membentang luas ini, terdapat bayang-bayang kisah masa lalu yang kelam dan pedih. Bagian Peak District National Park yang saya datangi memang tak hanya menyajikan panorama memukau, tetapi juga keping sejarah masa lampau yang penuh kejayaan dan kemuraman.

*****

County town Matlock yang akan saya kunjungi berada di kawasan Derbyshire tepat di pinggir tenggara Peak District National Park, yang terletak di tengah-tengah pulau Great Britain. Meski demikian, akses menuju kota kecil ini cukup sulit karena jarangnya transportasi umum menuju sana. Pesawat jelas tak ada. Jadwal kereta harus transit beberapa kali yang kadang memutar mencari rute kota besar dulu dengan jam pemberangkatan yang tak ramah bagi pemanggul tas seperti saya. Pilihan saya saat itu mau tak mau tinggal bus antarkota. Ketika berangkat dari Liverpool sudah sore, saya sudah menebak bahwa saya akan sampai ke Matlock malam. Tadinya karena musim panas sedang berlangsung, saya masih berharap jika saat sampai ke Matlock jam 7 malam, hari masih terang. Tetapi tentu saja bukan Inggris namanya jika kondisi atmosfernya mudah ditebak. Saat bus sampai ke Matlock, langit saking gelapnya oleh awan cumulonimbus sehingga saya sama sekali tak bisa membaca papan jalan. Alhasil, saya tersasar dahulu.

Ngomong-ngomong, karena saya berangkat dengan bus dari Liverpool ONE Bus Station, dan tak ada rute bus yang langsung menuju Matlock, mau tak mau saya harus transit terlebih dahulu ke Manchester. Baru dari Manchester ada bus antarkota. Saya hampir saja datang terlambat sampai di Manchester, ketika bus terakhir menuju Matlock berangkat 5 menit setelah bus saya dari Liverpool sampai di Manchester Coach Station. Bus terakhir yang akan kami naiki ke Matlock diisi tak sampai 7 orang saat keluar kota Manchester. Penumpang baru bertambah saat transit di beberapa kota kecil lain sebelum Matlock, dan juga sebagain turun. Saya sama sekali tak menduga jika rute yang kami tuju benar-benar rute sepi. Sangat sepi malah.

Begitu keluar kota Stockport, suasana ‘kampung’ benar-benar sangat terasa. Perumahan yang jumlahnya terbatas tersebar secara acak yang dipisahkan oleh ladang-ladang pertanian rapeseed (tanaman perdu berbunga kuning yang bijinya dapat diekstrak menjadi minyak goreng) luas membentang. Hampir selama satu jam lebih saya melalui rute semacam itu terus menerus. Melewati kawasan pertanian rapeseed menciptakan efek menghipnotis, di tengah terang matahari musim panas, bunga rapeseed yang kuning semarak terang sejauh mata memandang membuat saya seolah masuk ke dalam lukisannya Van Gogh. Saya yang tadinya berniat membaca buku jadi lebih banyak termenung menatap nanar dunia di balik jendela bus.

Musim panas yang terang benderang ternyata diikuti oleh gelap malam yang datang mendadak. Sore hari yang cerah tetiba diikuti gelap malam yang begitu mendadak pekat, membuat saya tergagap membaca papan petunjuk nama jalan. Jika pas berangkat langit bebas awan, ketika mendekati Matlock langit gelap ditumpuki awan-awan cumulonimbus. Perubahan suasana dari terang menuju gelap ini begitu mendadak sampai-sampai saya tak sadar. Kota Matlock dimana kami memesan penginapan menjadi terlewat karena papan penunjuk jalan tak terbaca saking gelapnya. Jalan menuju Matlock ternyata menyimpang dari rute bus yang ditumpangi, sementara bus melaju lurus. Kami tersasar meneruskan perjalanan ke kota Matlock Bath, padahal penginapan ada di kota Matlock. Untungnya ada rekan saya yang memantau GPS sehingga menyadari bahwa bus yang ditumpangi malah menjauhi tujuan. Kami segera meminta turun kepada supir bus, namun begitu turun segera menyadari kesalahan baru yang kami buat.

20170508_205148
Kami tahu kami sudah memasuki kawasan Peak District ketika pemandangan menjadi sangat seragam: bukit-bukit bergelombang yang diselimuti rumput-rumput hijau musim panas

Kami berhenti di pinggir jalan sepi dan gelap dengan hanya ada penerangan dari sebuah rumah makan yang menjual fish and chips–yang sebetulnya membuat saya tak habis pikir, bagaimana si pemilik bisa memilih tempat berjualan di tempat sesepi itu. Tampang kami yang kebingungan, kelelahan, setengah mengantuk, sedikit panik, sibuk menggeret tas bawaan dan menutupi kepala karena rerintik hujan mulai turun, menimbulkan derai tawa ejekan ringan dari empat anak muda kampung sana yang sedang nongkrong di restoran. Kami yang tadinya berniat sekalian makan malam di sana menjadi kehilangan selera dengan sikap tak simpatik mereka. Segera seorang teman saya menghubungi operator taksi di sana untuk menjemput kami dan mengantar ke penginapan. Saya sebetulnya ragu apa di tempat sesepi itu ada operator taksi, tapi sikap putus asa kami membuatnya tak ada pilihan lain. Menunggu sekitar sepuluh menit, kemudian datang mobil taksi yang dikemudikan seorang kakek-kakek. Sebagai ungkap syukur ketika akhirnya kami bisa sampai ke penginapan, kami memberikan tips pada si kakek uang kembalian. Saya tak tahu standar tips yang layak, tetapi si kakek dengan logat East Midlands English yang tak jelas pengucapan kosakatanya, mengucapkan terima kasih berulang-ulang sampai-sampai saya bosan mengucapkan kata ‘it’s okay, no problem‘. Selekas mandi, kami makan malam sederhana dari sisa-sisa bekal siang (saya membeli sushi dalam jumlah cukup banyak), dan segera tertidur tanpa sempat membahas besok harinya kami akan berjalan-jalan ke mana saja.

*****

Cukup mengejutkan diri saya sendiri jika saya terbangun cukup siang dari biasanya, sekitar jam 6 pagi. Teman-teman saya yang lain belum pada mandi masih sibuk di kamar masing-masing dengan ponselnya sementara saya mengumpulkan energi dulu dengan membaca buku beberapa halaman. Ketika dirasa sudah cukup terkumpul energi, segera mandi dan sarapan salad ditemani minuman cokelat panas. Sambil menunggu teman-teman saya mandi, saya juga menyiapkan bekal makan siang; memasak pasta rigatoni dengan saus jamur instan, mencuci dua butir apel, menyiapkan roti lapis diisi telur keju selada, dan tentu saja mengorek-ngorek tas untuk mencari sisa aneka cemilan cokelat dan energy bar. Saya pikir saya memang perlu menyiapkan bekal banyak, karena tujuan kami hari itu memang diniatkan untuk jalan kaki trekking seharian di Peak District National Park.

Kota Matlock di pagi hari terasa sesepi malam harinya. Ketika kami datang sekitar jam 8 malam di sana, hampir tak ada aktivitas penduduk berarti, hanya beberapa toko yang masih buka dan menunjukkan kehidupan masih ada. Jam 8 pagi, kondisi serupa sama saja hanya suasana gelap diganti terang musim panas. Begitu keluar penginapan, kebingungan kembali datang kemana kami harus melangkah, haha. Kami menginap di rumah sewaan yang tak dihuni sehingga tak ada yang bisa ditanyai arah pasti. Daripada diam mematung bingung, kami masuk ke dalam sebuah toko dan membeli kembali cemilan yang terasa kurang, haha. Memanfaatkan peta offline di ponsel, kami mencoba mencari pintu gerbang bertuliskan Peak District National Park. Di sebuah pertigaan, kami melewati sebuah funeral home dengan beberapa karangan bunga tampak disiapkan untuk acara perkabungan jam 10 pagi. Saya sedikit mencelos karena sementara saya malah sedang mengharapkan adanya kesukacitaan karena trekking. Meski kami berjalan-jalan di hari kerja biasa, tak banyak orang-orang yang kami temui.

Sebagai kota kecil, aplikasi map offline yang kami unduh tidak terlalu memberikan detail yang jelas. Jalan pintas yang diambil malah membuat kami (kembali lagi) tersasar ke halaman belakang gereja St Giles Church. Cukup mengejutkan saya bahwa gereja di kota yang sangat kecil ini ternyata berumur cukup tua. Berdasarkan inskripsi yang tertulis di dinding gereja menunjukan bahwa jejak sejarah gereja ini bisa terlacak hingga tahun 1291 meski tak disebutkan spesifik apakah gereja di tahun tersebut masih di lokasi yang sama dengan gereja yang kami datangi. Namun setidaknya ada catatan tertulis bahwa tahun 1600-an bangunan gereja seperti yang berdiri sekarang sudah ada dan perbaikan besar-besaran di tahun 1800-an hingga bentuk permanennnya yang sekarang berdiri. Epitaph-epitaph di nisan tua di pemakaman gereja menunjukkan angka-angka tua dari tahun 1600-1800an. Saat itu awan tebal menutupi langit, menciptakan efek muram dan gelap. Bangunan batu bergaya gothic, menara gereja yang berjelaga menjulang membentuk bayangan panjang melintasi nisan-nisan tua yang sebagian besar sudah retak dan miring, sementara pepohonan oak yang tambun dan rimbun menjulurkan lengan-lengan cabang yang panjang dan menciptakan efek ilusi melambai-lambai berusaha menjangkau kami yang lewat di bawahnya ketika dihembuskan angin. Saya tak yakin apakah bulu kuduk saya merinding karena terbawa suasana seram atau karena angin dingin semilirnya, yang jelas saya tak akan terkejut jika tetiba ada zombie keluar dari sudut kuburan yang tertutupi semak belukar. Dengan suasana menyengak seperti itu, tentu saja tak menghalangi sama sekali bagi saya untuk berfoto-foto. Haha.

20170509_102814
Gereja St Giles termasuk gereja Anglikan, batu nisan yang ada di pekarangan pekuburan kebanyakan berusia 300 tahun lebih. Usia saat mereka meninggal masih sangat muda, kebanyakan meninggal sebelum menginjak umur 40 tahun dengan alasan yang ironis

*****

Setelah terbukti bahwa kami salah mengambil jalur, kami mundur memutari gereja mencari jalan ke arah Sungai Derwent. Di sebuah tikungan, kami bertemu seorang nenek yang memasang tampang heran karena ada orang-orang membawa tas bekal makanan banyak sudah berjalan-jalan di waktu yang mungkin masih dianggap terlalu pagi. Saling bertukar sapa dan senyum, kami menanyakan arah padanya yang dijawab dengan ramah dengan logat East-Midland yang cepat. Jalan setapak yang memutari gereja dipenuhi pepohonan rimbun yang tak menyisakan satupun cercahan sinar matahari untuk mencapai tanah, membuat perjalanan kami terasa hening yang membuat saya sedikit tersentak saat ada beberapa burung melompat dan terbang dari sesemakan di depan, mungkin efek angker pemakaman gereja masih terbawa. Namun efek secara umum adalah hening yang damai. Menyaksikan bulir-bulir cahaya yang terpantulkan di air sungai, suara lembut gemercik air yang membentur bebatuan pinggiran sungai, pekikan burung-burung di perdu-perdu yang tak bisa diduga arahnya dimana, sempritan suara serangga musim panas yang membludak mencari pasangan, gesekan gemersik dedaunan kanopi pohon, benar-benar menciptakan suasana syahdu dan lembut.

Ah belum setengah jam saya berjalan, saya sudah terbuai seperti ini. Bagaimana saya akan bisa bertahan di waktu-waktu kemudian jika sudah memasuki Peak District-nya?

20170509_103952
Tipikal jalan setapak yang haru ditempuh dengan niat untuk memotong jalur, malah berakhir berputar-putar

*****

Setelah menembus kerimbunan pepohonan dengan jalan setapak membelah di antaranya, saya sampai ke jalan raya yang membelah lembah diapit dua bukit terjal dengan pepohonan pinus lebat. Berjalan sepuluh menit, kami menjumpai restoran fish and chips lokasi tadi malam kami turun bus. Saya secara bercanda menanyakan apakah kami akan sarapan di sana tapi dibalas dengan delikan karena kesan tak nyaman tadi malam masih tergambar jelas. Toh restorannya masih tutup. Dilihat di terang pagi hari, semakin disadari betapa sepinya kawasan itu. Hanya ada beberapa penginapan tipe villa dan satu rumah makan fish and chips itu. Meski matahari sudah cukup tinggi, belum ada tanda-tanda orang keluar berjalan di sekitar sana kecuali beberapa mobil lewat yang melaju kencang. Saat saya mendongak ke langit untuk mencari arah burung yang terbang tak jauh di depan, di atas pucuk pepohonan melintas sky trem! Jadi itulah kereta gantung Heights of Abraham yang cukup populer di kawasan Inggris. Karena minim gunung tinggi*, tak ada kereta gantung di Inggris selain di kota Matlock. Secara paradoks, sesungguhnya nama Peak District juga sedikit mengelabui. Kawasan taman nasional ini tak memiliki gunung-gunung yang mencerminkan namanya. Hanya ada bukit-bukit landai yang hanya beberapa puluh meter tingginya.

Karena tak ada orang lain yang kami temui, kami kesulitan mencari lokasi di mana tempat pembelian tiket untuk naik kereta gantung. Kondisi jalanan yang diapit tebing lebat, membuat saya menebak-nebak ada di sisi puncak bukit sebelah mana lokasi pembelian tiket berada. Hanya dengan menggunakan tebakan jika tiket pembelian biasanya ada di bagian bawah ujung kabel kereta, kami berjalan menyusuri bukit sebelah kiri yang lokasinya lebih rendah. Setelah berjalan sekitar 20 menit, akhirnya kami menemukan papan petunjuk jalan yang tak jauh darinya terletak gerbang wahana wisata terpadu Heights of Abraham.

20170509_111324
Dipenuhi pohon-pohon subtropis yang cukup padat, bukit-bukit sekitar Matlock bertaburan dan menciptakan banyak lembah-lembah hijau. Kondisi ini yang membuat Peak District kerap disebut sebagai Swiss-nya Inggris. Apalagi keberadaan kereta gantung membuatnya mirip dengan kereta gantung seperti yang kerap dipasang di gunung-gunung Alpen

Saya kira rombongan kami yang datang paling pagi, tetapi sudah ada beberapa mobil yang terparkir. Dengan membayar tiket sebesar 17 pound, kami berhak menaiki kereta kabel pulang pergi serta menjelajahi kawasan turis sekitar seperti Cavern (gua tambang bijih timbal yang jejaknya bisa dilacak hingga zaman Romawi dan mencapai masa puncak produksi di tahun 1700-an, ada dua gua di sana Masson Cavern dan Rutland Cavern), sebuah menara peninggalan abad XIX, museum geologi, dan tentu saja pemandangan spektakuler Peak District. Tanpa ragu, kami segera membeli tiket dan naik kereta menuju bukit di seberang lembah.

20170509_120342
Pintu gerbang menuju gua The Great Masson Cavern. Jam masuk ke sana dibatasi setiap 2 jam sekali, dimana para turis harus menunggu berkumpul dulu, lalu akan diizinkan masuk dengan didampingi dua orang pemandu, satu di depan sebagai pendongeng sejarah gua, satu di belakang sebagai penyisir jika ada yang tertinggal

Sambil menunggu jadwal tur gua dimulai, saya mengisi waktu dengan jalan-jalan ke area sekitar, bermain wahana anak-anak seperti perosotan dan ayunan, naik ke menara tua, dan tentu saja menikmati pemandangan hijau dari bukit-bukit kawasan Peak District. Langit yang dipenuhi awan membuat kondisi istirahat sangat nyaman sekali. Teduh, tenang, dengan semilir angin berhembus. Sebelum saya terantuk-antuk, petugas penjaga mengumumkan jika tur gua akan dimulai dalam 5 menit lagi. Saya segera berkemas dan berkerumun dengan pengunjung lain mendekati area pintu masuk. Cukup mengejutkan saya jika sebelumnya hanya ada sekitar 8 pengunjung terlihat, ketika pengumuman tur dimulai, ada hampir 30 orang turis yang penasaran untuk memasuki gua Masson Cavern.

Setelah diberi pengarahan do’s and don’ts, kami segera memasuki sebuah jalan menurun curam dan licin sebagai akses masuk gua. Di beberapa bagian, atap gua merendah membuat saya harus berjalan merunduk, dinding gua juga kadang menghimpit sempit yang membuat pengunjung berbadan besar harus berjalan miring. Meski ada lampu-lampu pengarah, tetapi bagian gua secara umum adalah gelap karena tak ada bagian atap gua yang terbuka. Semilir angin yang kadang datang berpadu dengan kelembapan gua, membuat hawa mendingin dengan cepat, membuat baju saya lembap dan beberapa pengunjung terlihat menggigil.

Di bagian-bagian gua yang dirasa cukup lebar mengumpulkan semua pengunjung, sang pemandu menceritakan sejarah gua alami itu, mulai dari masa pembentukannya secara geologis ratusan juta tahun lampau, hingga ketika demam tambang logam timbal membuat beberapa penambang menjadikan gua tersebut sebagai sumber bijih logam timbal. Tampak beberapa bagian gua dikeruk untuk mencari bijih logam timbal. Pada masa lampau, logam timbal ditambang secara intensif untuk bahan-bahan pencampur obat-obatan, kosmetik, hingga logam campuran pencegah karat pada pipa air minum, sebelum dibatasi penggunaannya karena terbukti berbahaya dan menyebabkan keracunan**. Tragisnya, beberapa penambang memanfaatkan tetesan air gua sebagai sumber minum selama mereka di dalam gua–padahal air tetesan gua terkontaminasi logam berat timbal. Di pemakaman gereja St Giles, saya menjumpai banyak nisan tua yang usia orang yang dimakamkannya berumur pendek, saksi dan korban mereka yang meninggal ketika produk timbal mengisi keseharian hidup mereka.

20170509_121950
Bercak-bercak putih di atap gua adalah mineral Galena (atau timbal sulfida, PbS), yang di masa lampau membangkitkan demam tambang timbal yang membawa kemakmuran kepada warga di sekitar sana, namun dalam waktu singkat menjadi wabah mematikan karena sifatnya yang beracun. Ironi suram ini terlihat jelas di Peak District dan dokumentasi menyedihkan di museum di kawasan Heights of Abraham

*****

Pintu keluar gua langsung menyongsong puncak bukit terbuka di padang rumput mahaluas. Bertentangan dengan kondisi sebelumnya yang terperangkap hawa basah dan terkungkung, udara di puncak bukit begitu segar, kering, dan membebaskan. Saya mendekati sebuah penanda yang menjadi penutup sebuah sumur yang dulu digunakan untuk jalan masuk ke dalam gua menambang timbal. Papan penunjuk menceritakan kisah-kisah muram berkaitan dengan sumur tragis tersebut. Ketika akhirnya saya bisa menghirup udara bebas dengan leluasa di luar gua yang juga menandakan kalau tur gua berakhir, saya kembali menuju bangku taman untuk menikmati bekal makan siang. Jalan kaki ratusan meter, menapaki jalur licin gua yang kadang menurun dan menanjak dilingkupi hawa lembap membuat perut saya menjadi lapar dengan cepat—pun setelah mengecek jam tangan memang sudah waktunya makan siang. Bekal pasta langsung habis dalam waktu singkat. Setelah dirasa pasokan energi terpulihkan, saya melanjutkan acara jalan-jalan ke wahana di Heights Abraham lainnya yang tersisa, yakni museum dan toko cendera mata.

Dari diorama-diorama museum yang dipasang, didapatkan informasi jika mulai dari para bangsawan hingga penulis terkenal seperti Jane Austen, menjadikan Peak District sebagai tempat wisata favorit yang sering dikunjungi. Meski berpuncak rendah, kawasan bebukitannya sering dipromosikan sebagai Swiss-nya Inggris. Sejak efek racun timbal mulai dipublikasikan, pertambangan timbal dihentikan yang membuat perekonomian di sana merosot tajam. Beberapa pengusaha kemudian membangkitkan perekonomian setempat dengan promosi wisata sehingga menjadikan Peak District sebagai taman nasioal paling banyak dikunjungi di dunia setelah Yellowstone National Park di Amerika. Meski pada kunjungan hari itu, saya menyangsikan data tersebut karena sepinya pengunjung, haha. Selain memajang diorama perkembangan Peak District dari kisah tambang timbalnya hingga sejarah proyek-proyek penarik wisawatawan seperti menara dan kereta kabel, museum juga menyajikan seksi pertunjukan yang lebih menarik dan menggugah: kisah geologi purba kawasan Peak District yang berumur ratusan juta hingga milyaran tahun!

Ah, tentu saja langung terpukau mabuk oleh pajangan fosil-fosil mulai dari fosil trilobite (makhluk purba yang menjadi penanda big-bang kehidupan Ledakan Kambria) hingga fosil-fosil purba seperti geligi hiu purba dan tentu saja favorit saya sehingga membuat saya meminta teman untuk memotretkan saya berfoto dengannya, yakni fosil lengkap Ichthyosaur! Ichthyosaur sendiri merupakan salah satu dinosaurus unik, karena tidak seperti hewan lain yang berevolusi dari laut ke darat, Ichthyosaur berevolusi dari arah sebaliknya, awalnya dia hewan darat tapi kembali ke laut. Tentu saja selain pajangan fosil-fosil, juga banyak sekali bebatuan menarik yang membentuk formasi kawasan Peak District yang purba, mulai dari bukti bahwa dulunya kawasan ini pernah aktif secara vulkanisme, sampai kisah bahwa dulunya kawasan ini pernah tenggelam dalam laut purba sehingga menciptakan kawasan berbatu kapur (dan menciptakan sistem goa yang sebelumnya saya kunjungi). Pokoknya, saya berada cukup lama sekali di dalam museum, haha.

20170509_130747
Salah satu pajangan fosil di museum Heights of Abraham, selain tentu saja fosil spektakuler Ichthyosaur yang menjadi favorit saya

Setelah dirasa cukup puas–meski saya tak yakin– saya keluar museum dan menuju toko cendera matanya yang banyak menjual batu-batu berwarna-warni yang mengingatkan saya jika batu sejenis jika dijual di Indonesia pada masa demam akik, akan dihargai jutaan atau puluhan juta sebijinya, sementara di sana dijual 1 pound sekantong. Haha. Kenyataan ini membuat saya malu sebagai warga negara Indonesia sekaligus mencelos saat mengunjungi toko souvenir tersebut.

20170509_130831
Sayangnya, saya datang ke museum itu setelah demam cincin batu akik mereda. Jika masih, saya mungkin akan memborong banyak sekali bebatuan dari sana. Haha

*****

Setelah melakukan keliling ulang kawasan Heights of Abraham dan dirasa cukup puas menikmati segala atraksi wisata di sana, kami memutuskan naik kembali kereta gantung yang sekaligus menandai berakhirnya perjalanan kami di Heights of Abaraham. Hari masih siang dan panjang, maka kami memutuskan untuk melakukan trekking di alam terbuka sampai sisa hari berakhir.

Dari pintu parkir, kami berjalan menyusuri jalan rel sampai ke stasiun Matlock Bath yang sepi tak terlihat satu orang pun. Saya benar-benar serasa masuk dalam cerita di buku-buku bersetting pedesaan Inggris di abad ke-19 atau awal abad ke-20. Melongok peron-peron stasiun yang lengang, dedaunan hutan menutupi sebagian rel, dan dinding batu bata yang memang sepertinya sudah berumur ratusan tahun, menimbulkan kesan romantisme sepinya pedesaan.

Ketika saya besoknya menggunakan kereta api dalam perjalanan pulang dari Matlock, keretanya memang sedikit “kuno” dan kecil berbeda dengan kereta jalur lain di Inggris yang lebih modern. Melewati pemandangan serba hijau musim panas yang semarak nan cerah, saya bahkan menyaksikan seorang laki-laki di awal usia 30-an, sedang menulis draft novel di bangku keretanya–saya dapat memastikannya, karena dia duduk di depan saya, dengan lembaran kertas kuarto berserakan di meja yang memisahkan kami. Sementara saat saya intip isi tulisannya, ada beberapa paragraf panjang dan tanda kutip yang menandakan percakapan dialog tokoh. Dia tersenyum ramah saat melihat saya membaca novel juga. Andai tak takut dianggap mengganggu, sudah pasti saya akan cecar dia dengan pertanyaan mengenai isi tulisannya. Tapi melihat wajah penuh konsentrasi dan tatapan sendunya saat memandang keluar jendela (mungkin sedang mencari inspirasi), saya tak tega mengganggu. Saat si penulis menatap jendela, saya ikutan melongok melihat padang-padang rumput yang mahaluas, cahaya matahari musim yang mengguyur tanpa ampun, desa-desa sepi dengan pemukiman resik, tarian pepohonan yang diluweskan oleh angin, dan membuat saya tetiba ingin menulis buku juga. Haha.

Peak District dengan bukit-bukit rendah bergelombangnya bisa dikatakan sebagai kawasan berbukit luas terbesar dan terdekat yang bisa dijangkau dari London, membuatnya menjadi kawasan wisata favorit bahkan sejak ratusan tahun silam. Penulis-penulis besar seperti Thomas Hobbes dan William Camden menulis banyak buku untuk mengulas keindahan Peak District. Beberapa penulis fiksi kesohor juga menjadikan kawasan Peak District sebagai tempat wisata favorit mereka. Novelis kenamaan Jane Austen banyak menjadikan lokasi desa-desa di Peak District sebagai lokasi setting novelnya. Pun penerusnya yang sering dianggap pesaingnya, Charlotte Brontë, juga menulis Jane Eyre saat menyepi di kawasan Peak District. Charles Cotton (penyair), Daniel Defoe (penulis Robinson Crusoe), Richmal CromptonGeorge Eliot, Samuel JohnsonLlewellynn JewittD.H.Lawrence, hingga Roald Dahl, bahkan penulis Perancis Jean-Jacques Rousseau diketahui menjadikan Peak District sebagai kawasan wisata favorit mereka, bahkan mungkin mencari inspirasi untuk bahan tulisan mereka.

20170510_075949
Saya bertemu seorang penulis (yang tak saya kenal namanya) di stasiun Matlock, yang kemudian menuliskan draft novelnya di saat kereta melaju. Seperti penulis-penulis terkenal lainnya, panorama Peak District yang menghampar, dapat dengan mudahnya membebaskan imajinasi seluas-luasnya

*****

Setelah menyusuri rel kereta sekitar 15 menit, ada belokan tajam menuju sebuah bukit dengan papan petunjuk bertuliskan “High Tor”. Ini adalah salah satu tujuan trekking saya hari itu. High Tor adalah sebuah tebing curam dari batuan gritstone yang menghadap ke lembah yang saya lewati saat menaiki kereta gantung. Jalan menuju sana secara tak terduga berupa bukit terjal yang dipenuhi pepohonan cukup lebat dengan jejak setapak yang mulai terlihat kabur, membuat saya harus memutar berkali-kali mencari jalan yang lebih jelas dan tegas. Selepas mendaki sekitar setengah jam lebih, pepohonan menipis, dan kami mencapai tepian ngarai curam. Kami telah sampai ke High Tor. Tanpa pagar pembatas, saya harus berhati-hati untuk menikmati pemandangan dari puncak High Tor karena tepian ngarai ditutupi semak lebat membuatnya susah memperkirakan batas batuan ngarai. Pun komposisi batuannya yang terbuat dari shalestone dan gritstone yang memiliki tingkat kekerasan rendah, membuatnya gampang rompal jika diberi beban cukup besar.

Setelah minum, makan cemilan, dan puas berfoto-foto, saya melanjutkan petualangan hari itu di Peak District. Berjalan di bawah naungan matahari musim panas di padang rumput-rumput mahaluas, melewati rumah-rumah pedesaan terpencil, stasiun kereta yang sepi pengunjung, dengan bekal makanan banyak di tas belakang, saya merasa seperti salah seorang tokoh di buku serial petualangan Lima Sekawan-nya Enid Blyton yang menjadi bacaan favorit saya zaman SD. Saya tak keberatan jika dalam petualangan hari itu, saya menemukan peta harta karun seperti yang sering dijumpai para tokoh Lima Sekawan, haha.

Baru saja berjalan 15 menit dari High Tor, saya menjumpai bukit padang rumput luas yang halus seperti yang ada di serial Teletubbies dan di puncaknya dipenuhi bunga liar! Bunga pimrose, buttercup, mayflower, red cloverheather, dan entah bunga apalagi yang saya kurang familiar dengannya. Semuanya tumbuh menghampar begitu saja membuat saya tergoda untuk berguling-guling di atasnya. Ada bangku taman yang segera saya meletakkan tas bekal, membuka sepatu, dan dengan kaki telanjang dan menyingsingkan celana, berjalan-jalan di atas rerumputan dan sela-sela bebungaan. Saya berdiri mematung dengan mata terpejam atau berbaring di atas rumput tebal. Jika saya menjadi seorang Julie Andrews maka saya sudah pasti menari-nari, melompat-lompat, bahkan berguling-guling sambil menyanyikan lagu seperti yang dia lakukan di film klasik fenomenal The Sound of Music (1965). Tentu saja saya tak melakukan itu semua karena akan tampak konyol jika dilihat orang lain, haha, meski saya tetap melakukan guling-guling di atas rumputnya sih. Di sini, udara terasa ringan. Tak beraroma, tak ada rasa panas atau dingin, tanpa ada kelembapan, tak mengandung butiran apapun murni seperti habis disuling. Tak ada beban sama sekali saat menghirupnya, membuat saya menghirup udara begitu perlahan tanpa ada ketergesaan. What a wonderful air! What a wonderful air! What a wonderful air! Saya mengucapkan mantra ini berkali-kali dengan mata terpejam sambil mengambil nafas dengan indera berusaha mengecap segala rasa di sekitar. Ah, siapa sangka jika tak jauh dari bukit permai dengan padang rumput hijau membentang luas ini, terdapat bayang-bayang kisah masa lalu yang kelam dan pedih. Bagian Peak District National Park yang saya datangi memang tak hanya menyajikan panorama memukau, tetapi juga keping sejarah masa lampau yang penuh kejayaan dan kemuraman.

20170509_152058
Bunga buttercup yang cerah, sangat kontras dengan rumput hijau tebal. Kota Matlock ada di latar belakang. Saya berbaring, duduk, dan membaca buku di atasnya

*****

Saya bukan tipe orang yang mudah untuk dikejutkan. Jika seseorang bersembunyi di balik tikungan lalu dia berteriak untuk mengagetkan, saya biasanya memasang tampang lurus (meski tentu saja jantung saya berdetak kencang secara refleks). Saya jarang sekali refleks melawan, lari, apalagi berteriak spontan mengeluarkan kata-kata latah yang tak patut. Makanya teman-teman saya yang jahil dengan memberikan kejutan suka menggerutu karena saya dianggap ‘tak asyik’, tak memberikan reaksi atas hiburan yang mereka harapkan. Pun saat itu, saya sedang duduk di atas rumput hijau di tengah padang rumput mahaluas dengan kapas-kapas putih raksasa berterbangan di atas langit, saya melepaskan alas kaki dan membaca buku sambil menggelar cemilan biskuit. Saya sedang berkonsentrasi membaca buku (sangat sulit berkonsentrasi jika membaca di padang rumput mahaluas bergelombang dengan bunga-bunga bermekaran menghampar begitu saja), ketika sesuatu yang lembut, hangat, dan basah tetiba menyentuh telinga saya. Saya tentu saja refleks menghindari benda aneh yang tak terduga datangnya itu, namun ia malah mendekati dan mengulanginya kembali. Setelah saya menengok dan melihat benda apa itu, ah… hari yang indah. Alih-alih kaget berteriak, saya memeluknya. Keceriaan atas keindahan hari itu harus ditularkan.

Seekor anjing terrier, tetiba tanpa diduga menjilat-jilat telinga saya ketika saya sedang asyik membaca di atas rumput. Antusias dan wajah sumringahnya membuat saya begitu gemas dan menghentikan pembacaan buku untuk menggelitik balik perutnya yang membuat si anjing menggeliat kegelian di atas rumput. Saya sedang asyik ‘membalas dendam’ ketika seorang ibu-ibu tua memanggil nama si anjing. Dua orang wanita paruh baya ternyata sedang berjalan-jalan dengan membawa anjing terrier mereka. Dia meminta maaf kepada saya karena sikap anjingnya yang ‘lancang’ yang segera saya tukas bahwa sebetulnya saya menikmati bermain-main dengan anjingnya. Setelah saya memeluk si anjing sekali lagi, saya melepaskannya dan rombongan si ibu-ibu kembali melanjutkan perjalanannya, sementara saya pun harus ikut-ikutan berdiri menyusul teman saya yang melanjutkan perjalanan.

Dengan keceriaan dan cerahnya hari itu, hati yang berada dalam kondisi ‘mood‘ paling ceria sepanjang minggu itu. Perasaan muram setelah mengunjungi tambang bijih timbal sebelumnya tersapu habis menikmati jalan-jalan di padang rumput hijau dan bermain dengan anjing tadi. Saya pikir perasaan ceria tersebut akan bertahan sangat lama, namun akhirnya harus pupus dengan begitu cepat seiring saya melanjutkan perjalanan.

Di sebuah tikungan, tumbuh semak-semak bilberry liar yang membuat saya tergoda untuk menyicipinya beberapa biji. Saya masih sibuk mengunyah ketika menemukan sebuah kursi di tepi jalan setapak. Saya berniat duduk istirahat sambil menikmati bilberry di kursi tersebut, namun menghentikannya begitu melihat sebuah epitaph terukir di sandarannya beserta seikat bunga. Dari epitaph yang tertulis, didapatkan informasi jika kursi itu dibuat untuk mengenang kematian seorang gadis yang baru meninggal dua tahun lalu. Angka tahun di belakang nama si gadis, menunjukan usia yang masih begitu belia. Kematian di usia semuda dan tubuh seenerjik itu sudah pasti menimbulkan duka dalam dan berkepanjangan bagi orang tua mereka. Ikatan bunga menunjukan bunga yang masih segar, membuat saya bertanya-tanya apakah orang tua mereka menggantinya rutin setiap beberapa hari sekali? Apakah mereka tetap memberikan karangan bunga sepanjang tahun termasuk saat hari-hari bersalju? Saya hanya bisa menebak-nebak jawabannya, tetapi saya sangat memahami luka menganga dalam diri orang tua mereka atas tragedi kematian putrinya. Kursi persembahan (mungkin si anak dulunya senang berjalan-jalan di Peak District) dan karangan bunga adalah bentuk ungkapan cinta yang terputus oleh kematian. Epitaph adalah cara untuk mengenang mereka yang pergi meninggalkan. Mengenang mereka yang mati adalah cara penglipur lara terbaik bagi mereka yang ditinggalkan.

20170509_150836_001
Saya tadinya berniat untuk beristirahat duduk di kursi, namun membatalkannya begitu membaca tulisan di sandaran tersebut. Tanpa saya sadari, saya mengucapkan selarik doa bagi nama yang tertulis di sana, meski saya tak pernah mengenal dan menjumpainya

*****

Begitulah. Perjalanan di Peak District telah memberi sebuah pemahaman dan pengalaman baru bagi saya. Cerita sejarahnya yang purba menguar kisah dahsyat atas tuanya umur planet bumi yang kita huni, kisah-kisah lama tentang pertambangan kunonya membuat saya merenung atas konsekuensi dari banyak hal, epitaph di atas kursi yang saya jumpai tetiba mengingatkan saya terhadap hal-hal yang pernah saya ratapi dan sesali. Namun, pemandangan indahnya, juga berhasil membius saya dan menyadarkan bahwa di dunia ini tak melulu diisi duka yang ditangisi, namun banyak suka yang harus dinikmati. Jalan kaki di atas rerumputan mungkin terdengar bersahaja, tapi dapat memberikan perasaan bahagia yang bisa muncul dalam wujud yang begitu sederhana. Kamu harus mencobanya.

Sepanjang sisa perjalanan hari itu menjelajah kawasan Peak District, saya memutar lagu dari The Beatles, Si Pandir di Atas Bukit.

 

 

Catatan tambahan:

*           = Inggris adalah tanah yang tua. Sangat tua. Meski pada kondisi yang sekarang kepulauan Inggris terpisah dari daratan Eropa, tapi pulau ini setidaknya sudah ada sejak era Proterozoic (sekitar 2,5 milyar tahun lalu), lahir dari busur pegunungan api benua purba Gondwana (leluhur dari benua-benua yang ada di masa sekarang sebelum berpisah)–bandingkan dengan kepulauan Indonesia yang baru lahir di era Cenozoic (masa setelah dinosaurus punah, sekitar 60 juta tahun lalu, dengan alasan ini tak akan pernah ditemukan fosil dinosaurus di daratan Indonesia). Umur yang begitu panjang membuat tanah Inggris sudah masuk fase “beristirahat”. Gunung api terakhir yang meletus di Inggris terjadi di zaman Eocene sekitar 55 juta tahun lalu. Sedangkan aktivitas gempa meski masih terjadi tetapi sangat jarang dengan magnitude yang tak besar.

Dengan umurnya yang amat tua, tanah Inggris juga telah mengalami erosi panjang dan hebat sepanjang sejarahnya. Angin dan air telah mengikis dan memangkas gunung-gunungnya hingga menyisakan bukit-bukit rendah. Tak ada “bukit” di Inggris di atas ketinggian melebihi 1350 meter di atas permukaan laut, membuat perjalanan menjelajahi alam liar Inggris bisa dikatakan mudah karena tak perlu mendaki gunung curam dan terjal. Pada periode Karbon (sekitar 300 juta tahun lalu), kepulauan Inggris berada di khatulistiwa yang menyebabkan terumbu karang tumbuh subur. Ada pengendapan batuan karbonat sisa terumbu karang yang sampai sekarang jejaknya bisa dilihat di pantai Devon (yang menjadikan Inggris dijuluki Negeri Albino karena pantai kapur putihnya) hingga gua-gua di Peak District yang saya kunjungi.

**      = Cantik itu menyakitkan. Bahkan bisa membawa maut. Pada zaman dahulu, zat logam timbal sengaja sering dimasukan ke dalam racikan pembuatan kosmetik. Sejak zaman Mesir kuno, ramuan maskara mereka sudah memasukkan logam timbal demi menghasilkan efek berkilau dan membuat kulit seolah ‘kencang dan bercahaya’. Bangsa Yunani melangkah lebih jauh dengan menjadikan racikan timbal sebagai masker perawatan wajah karena efek halus, lembut, dan cerah. Histeria untuk mendapatkan kulit cerah mengalami puncaknya di abad ke-18 dimana hampir semua produk kosmetik dicampuri logam timbal, sehingga memicu tambang logam timbal dimana-mana termasuk di area Peak District.

Tapi tentu saja efek tersebut hanya sementara dan sesaat. Efek berikutnya saat logam timbal diserap kulit adalah timbulnya iritasi kulit, kulit terbakar, kebotakan, insomnia, halusinasi, kerusakan mental, keracunan darah, gigi rontok, cacat janin, dan tentu saja kematian. Penggunaan logam timbal yang massif selain pada kosmetik juga pada pipa air minum membuat angka harapan hidup menjadi rendah. Di kawasan Matlock, jejak itu terekam jelas. Seperti di kawasan Heights of Abraham yang saya kunjungi, terdapat museum yang menyajikan dokumentasi mengerikan pada periode suram ini. Dan batu-batu nisan tua di pemakaman gereja St Giles menjadi bukti muram, kebanyakan warga yang dimakamkan dari abad 18-19 memiliki angka harapan hidup yang begitu rendah, mayoritas kurang dari 40 tahun.

Author: Qui

Climbing up the mountain of books and Reading a book while climbing the mountains

5 thoughts on “Peak District National Park, Derbyshire, Inggris [bag. 2]”

Leave a comment