Gunung Tongkor Kina ― Porto (Wae Rebo), Agustus 2015 [bag. 2]

“He watched the sun rise beyond the grape arbor. In the thin golden light the young leaves and tendrils of the Scuppernong were like Twink Weatherby’s hair. He decided that sunrise and sunset both gave him a pleasantly sad feeling. The sunrise brought a wild, free sadness; the sunset, a lonely yet a comforting one. He indulged his agreeable melancholy until the earth under him turned from gray to lavender and then to the color dried corn husks.”
― Marjorie Kinnan Rawlings, The Yearling p. 372

Dalam perasaan damai dan hangat seperti kopi manggarai yang saya cicipi di pagi hari, keengganan meninggalkan Wae Rebo menggelayut dalam hati saya seperti lintah yang lapar. Julukan ‘surga di atas awan’ atau ‘negeri di atas awan’ yang disematkan padanya bukanlah metafora polos dan hiperbola yang eksesif. Benar-benar berwujud nyata dan akan dialami setiap pengunjung yang datang ke sana. Andai belum memesan kapal dan tiket pesawat, saya ingin tinggal lebih lama di sana. Kesunyiannya menyembuhkan kelelahan. Ketinggiannya, menjernihkan pikiran. Kabutnya, yang sebenarnya dingin menggigit, secara ajaib justru mendatangkan rasa kehangatan yang menyelusup ke dalam hati saya dan bertahan lama sesudahnya.

Kabut yang menyelimuti Mbaru Niang. Biasanya saya teringat film zombie ketika kabut datang, tetapi di Wae Rebo, tak secuil pun pikiran tsb keluar
Kabut yang menyelimuti Mbaru Niang. Biasanya saya teringat film zombie ketika kabut datang, tetapi di Wae Rebo, tak secuil pun pikiran tsb keluar

Sebagaimana saya ceritakan di tulisan sebelumnya, saya datang ke Wae Rebo menjelang hari raya kemerdekaan. Maka, kampung adat ini dibanjiri oleh anak-anak yang pulang ke sana setelah hari-hari biasa mereka habiskan dengan sekolah di Denge, 9 km jauhnya di bawah kaki gunung Wae Rebo. Maka, tak peduli kabut yang membutakan, anak-anak bermain gembira di sana, baik sekedar memainkan permainan tradisional maupun sekadar menyanyikan lagu tradisional dan nasional. Dari sekian banyak pengunjung pada saat tsb, ada dua rombongan keluarga, satu dari Singapura dan satu lagi dari Perancis. Terkendala bahasa, mereka tidak bisa mengikuti permainan anak-anak sana (sementara saya dan kawan-kawan heboh teriak larut dalam keseruan bermain). Hampir dua jam mereka hanya duduk mengamati tanpa berani berbaur keriuhan dengan kami. Tapi godaan keseruan yang kami alami, akhirnya membuat mereka luluh terhadap kesungkanan. Maka, bahkan ketika kami sendiri sudah bubar kelelahan (dan kedinginan) mereka melanjutkan bermain bersama anak-anak Wae Rebo sampai hari memulai siklus malamnya. Secara mengejutkan, bahkan mereka memperkenalkan permainan khas Eropa ke anak-anak Wae Rebo. Dengan bahasa yang menghambat, mereka nekat mendobrak batas komunikasi dengan bahasa tubuh untuk menerangkan peraturan permainan Eropa ke anak-anak Wae Rebo. Perlu waktu hampir setengah jam sendiri untuk mengenalkan aturan main tsb ke anak-anak Wae Rebo–sampai akhirnya mereka menyerah dan aturan permainan pun dimodifikasi sesuai apa yang ditafsirkan anak-anak Wae Rebo. Haha.

Pada mulanya, kita semua pernah menjadi anak-anak. Maka, bermainlah seperti anak-anak bermain.

*****

Pulau Mules meronta-ronta memanggil, yang sangat sayang sekali harus dilewatkan.
Pulau Mules meronta-ronta memanggil, yang sangat sayang sekali harus dilewatkan.

Ketika saya berangkat menuju Wae Rebo, mobil kami berangkat sore-malam sehingga sapuan pandangan kami benar-benar terbatasi oleh kabut dan gelap. Begitu pulangnya yang dilakukan pada siang terang, segera saja pesona Flores menjadi terlihat lebih tegas. Gereja-gereja yang muncul sporadis seperti jamur, menandakan kami telah melewati desa yang berbeda. Meski, kebanyakan di antara desa-desanya hanya lahan terbengkalai dan kesunyian. Tak jauh dari Denge–hal yang tak kami sadari malam sebelumnya–terhampar Pulau Mules. Saya benar-benar terbelalak menyaksikan pulau ini meski dari kejauhan. Lanskapnya sangat dramatis, pulau kecil bergunung cokelat dengan puncak yang tajam di salah satu sisinya, dengan laut biru mengelilingi dan menjaganya. Pulau kecil ini terlihat gagah, seolah sisa purba peninggalan zaman Jurassic–saya membayangkan dinosaurus kecil masih tinggal di pulau kecil tsb seperti halnya komodo yang berhasil bertahan sejak jutaan tahun lalu. Melihat puncak-puncaknya yang patah-patah tajam, kaki serasanya gatal ingin segera menanjaki gunungnya. Sayang pulau tsb karena keterbatasan informasi dalam penyusunan itinerary kami tak bisa kami kunjungi (dan daki!), juga karena keterbatasan waktu.

Apa yang sebelumnya dihambat kabut dan gelap saat berangkat, terlihat menjadi terang dan semarak di siang saat pulang. Sepanjang perjalanan, saya terus melambai-lambaikan tangan dengan norak kepada penduduk di sana yang langsung dibalas dengan teriakan ‘Hi Mister!’ Saya sedikit terharu karena banyak dari mereka berlompatan dari kursi bahkan dari dapur untuk menyapa saya yang melaju kencang di mobil. Terbatasi akses hiburannya tak seperti di Jawa, turis (meski bukan bule seperti saya) yang melambaikan tangan, bisa menjadi hiburan dan penghiburan dari rutinitas dan kepenatan sehari-hari. Makanya, meski awalnya teman saya meledeki saya, saya tak kapok memberikan lambaian tangan. Apa yang kita anggap lumrah dan tak berguna bagi kita, belum tentu bagi mereka. Senyum dan kebahagiaan, bisa muncul dari hal-hal sederhana seperti ini.

*****

Ada kekeliruan yang sering disampaikan
dalam buku-buku/blog perjalanan. Desa
tempat sawah berpola jaring-jaring laba-laba
bukanlah “cancar” melainkan Desa Cara,
sedangkan “cancar” adalah nama pola
pesawahannya.

Sebelum melanjutkan destinasi berikutnya, kami menyempatkan mampir dulu ke Sawah Jaring Laba-laba di Desa Cara yang terkenal itu. Dari atas sebuah bukit (yang tidak setinggi Bukit Cinta) terlihat petakan sawah yang membentuk pola mirip jejaring laba-laba. Ada sekitar 5 pola jaring laba-laba (polanya dalam bahasa setempat disebut “cancar”) petakan sawah, tidak berbentuk kotak-kotak seperti sawah di tempat lain. Kontradiktif dengan namanya yang populer, tempat wisata ini justru paling minim pengelolaan. Tak ada pos jaga (hanya melapor ke rumah warga dekat dengan jalan setapak berdebu menuju bukit) tetapi tetap membayar tarif entah untuk siapa dan untuk apa penggunannya, karena saya tak melihat sama sekali fasilitas atau perbaikan akses menuju bukitnya.

Selepas dari sana (yang tak menghabiskan waktu lama karena perjalanan masih panjang), saya pulang kembali ke Labuan Bajo. Karena, selain Wae Rebo, ada tujuan wisata lainnya yang ingin saya kunjungi. Sebuah kepulauan eksotik, yang belakangan namanya meledak dan berkelindan di setiap promo wisata dan berita media karena gegap gempita acara voting New7Wonders of Nature–yang sebelumnya entah mengapa seolah terlupakan dalam peta Indonesia. Pulau purba dimana makhluk-makhluk eksotik merayap dan mengintai mangsa, atau malah berjemur malas di tanah keringnya yang sensual. Pulau Komodo, yang secara sekilas lanskapnya sama dengan Flores, memang juga punya kejutan dan pesona purba seperti pulau induknya tsb.

*****

Demi mengejar Komodo, saya harus melewatkan kunjungan ke Liang Bua, sebuah gua eksotik yang melontarkan nama Flores ke ajang dunia arkeo-anthropologi internasional saat ditemukannya manusia hobbit (Homo floresiensis), salah satu percabangan evolusi manusia paling menarik sekaligus paling kontroversial dari bumi Flores. Tanah purba Flores, seperti halnya di era modernnya yang sekarang, tak pernah kehabisan bahan untuk membuat orang takjub, terpesona, kaget, dan bingung.

Kelelahan setelah delapan jam berkendara, saya harus melewatkan sunrise di pelabuhan Labuan Bajo esoknya seperti yang direncanakan semula. Sehingga ketika saya sampai ke pelabuhan sekalian pergi melarung kapal, matahari sudah beranjak cukup tinggi dan menyengat. Kami menyewa satu kapal untuk rombongan kecil kami, yang sudah dipesan jauh-jauh hari demi menghindari ketakkebagian karena puncak musim liburan.

Raksasa anggun ini selalu memmbuat kami berteriak girang setiap dia muncul
Raksasa anggun ini selalu membuat kami berteriak girang setiap dia muncul

Alih-alih langsung menuju Pulau Komodo, kami memilih untuk ke tempat lain dulu, yakni perairan tempat kawanan ikan pari manta (Manta alfredi) berkeliaran di sekitar pulau Komodo. Ikan pari manta, sebagaimana yang terlihat di tayangan film-film NatGeo Wild dan Animal Planet, benar-benar mengesankan bahkan saat mereka terlihat dari jauh. Bertentangan dengan segala logika, ikan raksasa ini sangat jinak dan hanya makan makhluk mikroorganisme. Tak seperti kerabatnya ikan pari yang agresif, manta memiliki ketenangan bak pertapa, tak memiliki sengat sehingga aman untuk didekati, dan berenang dalam keanggunan seorang penari serimpi. Meski luar biasa jinak, lebih baik jangan disentuh, agar mereka tak merasa diganggu. Bentangan sayapnya mencapai 3-5 meter, kita benar-benar bisa bernaung di bawah bayang-bayangnya yang fantastis. Sayang saya tidak memiliki izin menyelam sehingga harus cukup puas menikmatinya dari permukaan saja.

Maka, dengan noraknya, kami berteriak-teriak girang setiap manta muncul ke permukaan untuk mengambil udara. Manta muncul dalam rombongan berjumlah sampai belasan, bisa dibayangkan, kami selalu heboh berteriak menunjuk-nunjuk setiap sang raksasa ini terlihat. Sang kapten kapal sampai menertawakan sikap kampungan kami. Terpesona oleh ketenangan dan ukurannya, kami tak memperdulikan suara kami yang sudah serak. Laut yang berwarna biru tosca jernih yang membuat dasar laut terlihat jelas, angin ribut yang bersorak menyemangati kami, lanskap kecoklatan pulau-pulau di latar belakang, langit jernih dengan warna biru yang membuat matahari cemburu, hanya makan siang yang bisa mengentikan teriakan semangat kami.

Selepas makan siang, rasa gerah dan panas yang mengurung saya langsung dilampiaskan dengan snorkeling. Pemandangan koral di sekitar Gili Laba memang bukan koral lunak tempat ikan-ikan badut yang ikonik berseliweran. Tetapi kejernihan airnya dengan jumlah ikan yang berlimpah, sudah lebih dari cukup untuk memuaskan rasa penasaran saya. Dan sesungguhnya, bukan snorkeling yang dikejar para turis di Gili Laba. Gili Laba, punya pemandangan dramatis, yang sebegitu kerennya sehingga saya tak ragu memasukkannya dalam salah satu tempat terindah yang pernah saya kunjungi.

*****

Pemandangan dari puncak Gili Laba membuat saya tercekat. Lekukan pulau ini (yang salah satu tanjungnya berhadapan dengan tanjung lain dari pulau Komodo yang berlekuk) dipertemukan oleh selat biru memukau yang dalam (diliat dari warna lautnya yang gelap) dan menjadi sangat ikonik sebagai latar belakang foto-foto para turis di sana. Warna tanah yang cokelat, sangat kontras dengan warna lazuardi laut dan langitnya menimbulkan kesan pewarnaan kontras dan tegas sebagai latar foto. Kata-kata saya akan terbuang cuma-cuma jika berusaha mendeskripsikan pemandangannya. Yang jelas, saya benar-benar ternganga menyaksikan pemadangan dramatis ini.

Saya mulai menanjak ke bukit di Gili Laba sekitar pukul 2 siang, tetapi baru turun ketika malam mulai mengetuk. Meski Gili Laba sangat kecil, tetapi pemandangannya yang dramatis membuat saya betah berlama-lama berada di puncaknya. Di penghujung hari, berada di titik tertinggi pulau itu, saya mengeluarkan buku The Yearling. Saya sedang berada di surga.

Langit, yang meluntur warna kebiruannya, tergantikan dalam selimut warna emas yang berpijar. Matahari, dalam upaya terakhirnya untuk menyinari bumi, bergulir lambat dan enggan ke tubir cakrawala. Awan gemawan, melayang seolah permen kapas rasa buah yang menggoda, bukan lagi warna putih siang yang monoton. Laut, dengan ombaknya yang melunak, terbakar seperti kuali emas mendidih dalam kisah-kisah dongeng tentang naga. Angin yang menyelusup di sela-sela rumput dan bebatuan, nyaris membuat saya terkantuk-kantuk dalam pelukannya yang memabukkan. Rerumputan berlenggok menarikan tarian abadi perpisahan dengan sang surya. Bebatuan purba dan tanah merahnya mengeluarkan aroma segar yang berbaur dengan aroma garam yang dibawa angin dari laut. Kapal-kapal yang berlindung dalam teluk, bersandar malas dan menunggu. Gunung-gunung di kejauhan, dengan bayang-bayangnya yang memanjang, tampak sedang berdoa untuk menyambut malam. Bahana deburan ombak samar-samar, melebur dengan suara pekikan elang, senandung semak belukar, dan debuman bebatuan yang ditampar aliran udara hangat dan menenangkan. Pepohonan, yang jumlahnya tak banyak, mengeluarkan kidung-kidung lewat gesekan dedaunannya. Tak perlu kejadian supernatural untuk menghadirkan mukjizat. Di tempat seperti ini, keajaiban berkelindan dan berlimpah di setiap detailnya.

Dan saya, terlarut antara pembacaan buku dan lamunan, benar-benar tertegun dalam atraksi alam yang mengguncang ini. Dengan pikiran mengawang, dengan kulit yang tergetarkan oleh keajaiban yang ada di sekeliling, hanya sanggup bertanya lirih, “Are you there, God?” Jawabannya datang bahkan sebelum saya menyelesaikan pertanyaan itu, dalam sebuah suara, yang seperti dikatakan Jalaluddin Rumi, sebuah suara yang datang tanpa kata-kata, Simaklah!

Senja. Buku. Kesejukan. Ketenangan.
Senja. Buku. Kesejukan. Kedamaian.

(bersambung)

Author: Qui

Climbing up the mountain of books and Reading a book while climbing the mountains

5 thoughts on “Gunung Tongkor Kina ― Porto (Wae Rebo), Agustus 2015 [bag. 2]”

Leave a comment