Gunung Slamet, Februari 2018

“Life is made up of sobs, sniffles, and smiles, with sniffles predominating.”
O. Henry, The Gift of the Magi

Adalah suatu hal yang tak bisa diduga kedatangannya. Daun-daun rimbun menapis cahaya matahari sehingga suasana hutan meremang meski jam masih menunjukan pukul empat sore. Angin semakin lama bertiup semakin lemah sehingga kegerahan semakin meraja dan keringat semakin bercucuran. Ketukan-ketukan lembut pada dedaunan yang ritmis terdengar di kejauhan di belakang kami, yang nadanya naik turun riuh rendah bahkan kadang menghilang. Sebelum saya dapat mengantisipasinya, hujan deras turun dalam hening. Bagi seorang pendaki, hujan bisa menjadi tantangan sendiri. Sebelum baju saya menjadi kuyup, saya segera mengeluarkan jas hujan yang sengaja saya tempatkan di kantong terdekat dan paling mudah diraih. Pendaki-pendaki lain yang tak siap, terlihat semakin kuyup sambil berusaha mencari pohon teduh untuk mengeluarkan jas hujannya. Beberapa orang terdengar menggerutu, sebagian cemberut, yang lainnya pasrah dengan senyum kecut. Namun bagi saya, hujan di gunung saat sore hari adalah sebuah janji. Janji bahwa kelak, saat hujan sudah berhenti dan kegelapan rimba sudah sempurna, akan tersibak misteri terbaiknya. 

*****

Gunung Slamet, meski tidak terletak persis di tengah pulau Jawa, menempati posisi geografis dan gelogis cukup istimewa. Berbeda dengan kebanyakan gunung-gunung di Jawa lainnya yang biasanya terangkai dalam rangkaian gundukan pegunungan, Slamet bisa dikatakan berdiri tunggal di tengah dataran rendah. Gunung ini seolah menyembul begitu saja dari dataran rendah mengisi kekosongan diantara daerah pegunungan rapat Priangan di barat dan dataran tinggi Dieng di timur. Kawasan rendah yang mengitari Slamet sejak lama dikenal sebagai pusat-pusat niaga kecil yang senantiasa sibuk*; Brebes, Pemalang, Purbalingga, dan Tegal. Di bagian barat gunung ini, terbentuk kawasan rendah yang menghampar dari pantai utara jawa (Brebes dan Tegal) menyusuri tepian kaki gunung bersambung dengan kawasan rendah Cilacap di pantai selatan Jawa, menciptakan kesan efek rapuh pada litosfer bagian tengah pulau Jawa. Tak heran jika ramalan Jayabaya yang kesohor itu memasukan ramalan jika Gunung Slamet meledak, pulau Jawa akan terpenggal mengikuti kontur dataran rendah tadi.

Dan yang membuatnya semakin luar biasa adalah dengan posisi gunung yang menajuk begitu saja di tengah dataran pemukiman padat, gunung Slamet berdiri begitu menjulang. Hanya Gunung Semeru saja yang sedikit lebih tinggi darinya di pulau Jawa. Menjungkar begitu saja seolah kagok, tak heran jika gunung ini termasuk salah satu gunung yang paling kaya mitos misterinya. Itulah sebabnya mengapa dari sekian gunung-gunung Jawa yang telah saya daki, Slamet termasuk gunung yang belum saya daki karena jarang ada teman-teman saya yang mau pergi ke sana dengan alasan angker, haha. Baru di tahun 2018 ini saja akhirnya saya berhasil mendapatkan kawan sependakian yang mau diajak mendaki ke Slamet.

Karena dilakukan di akhir pekan secara hampir mendadak, seperti biasa tiket-tiket transportasi umum menjadi semakin mahal dan langka. Rombongan kami memutuskan untuk menggunakan kendaraan pribadi menuju pos pendakian Bambangan di Purbalingga. Pos pendakian Bambangan terkenal paling ramai dibandingkan enam jalur lain (jalur Guci di Tegal juga terkenal, tetapi jalurnya lebih berliku dan melewati banyak petilasan-petilasan). Kami sampai ke Bambangan ketika sudah hampir tengah hari karena terjebak macet panjang di tol. Meski terkenal akan kemistisannya, Gunung Slamet tetap didatangi banyak pendaki yang sedang bersiap-siap di basecamp. Tapi jelas ada perbedaan mencolok dalam hal jumlah. Tak sebanyak pendaki di Gunung Sindoro, Gunung Merbabu, atau Gunung Lawu, jumlah pendaki di Slamet masih berada dalam jumlah yang wajar. Ini membuat saya sedikit berfikir, apakah jumlah yang terasa lebih sedikit ini disebabkan karena kesan mistisnya yang sudah menjadi buah bibir atau karena ketinggian Gunung Slamet yang paling tinggi di Jawa Tengah membuat para pendaki merasa gentar?

*****

Dengan ketinggiannya yang menjulang di tengah dataran rendah, tak heran jika rute pendakian Gunung Slamet terasa begitu “menyengsarakan”. Jika gunung-gunung Jawa lain biasanya memulai pendakian dari ketinggian lumayan tinggi dan melewati kawasan berbukit-bukit sehingga menyediakan trek ‘bonus’ barang semenit atau lima menit, trek Gunung Slamet tak mengenal kata ampun. Sejak pos 1, jalanan menanjak terus menerus tiada henti sampai puncak. Nama gunungnya sedikit paradoks antara memberi keselamatan serta memberi ‘penderitaan’ bagi para pendaki**.

Namun tentu saja ada banyak rasa syukur yang harus kami panjatkan. Tak seperti rute Gunung Sindoro, Gunung Latimojong, atau Gunung Tambora yang menyediakan begitu banyak pepohonan tumbang melintang jalan yang memaksa saya harus tiarap untuk melewatinya yang membuat paha mengalami kram dan kebas, rute Gunung Slamet bisa dikatakan ‘bersih’. Mungkin ini kebaikan dari Sang Gunung sebagai kompensasi dari rute menanjaknya yang tak berputusan.

Karena pendakian saya baru dimulai jam 1 siang (setelah terhadang macet parah di tol, rombongan kami sampai di basecamp Bambangan saat hari sudah cukup siang), maka awal-awal pendakian terasa panas memanggang terutama menuju pos 1 yang masih berupa kebun-kebun sayur warga serta semakan belukar dengan sedikit pepohonan yang menaungi. Langit sangat cerah sementara kabut rendah menggantung di pucuk gunung membuat saya khawatir bahwa hujan akan turun.

Ketika saya mencapai pos 2, kekhawatiran saya terbukti, hujan pun turun. Adalah suatu hal yang tak bisa diduga kedatangannya. Daun-daun rimbun menapis cahaya matahari sehingga suasana hutan meremang meski jam masih menunjukan pukul empat sore. Angin semakin lama bertiup semakin lemah sehingga kegerahan semakin meraja dan keringat semakin bercucuran. Ketukan-ketukan lembut pada dedaunan yang ritmis terdengar di kejauhan di belakang kami, yang nadanya naik turun riuh rendah bahkan kadang menghilang. Sebelum saya dapat mengantisipasinya, hujan deras turun dalam hening. Bagi seorang pendaki, hujan bisa menjadi tantangan sendiri. Sebelum baju saya menjadi kuyup, saya segera mengeluarkan jas hujan yang sengaja saya tempatkan di kantong terdekat dan paling mudah diraih. Pendaki-pendaki lain yang tak siap, terlihat semakin kuyup sambil berusaha mencari pohon teduh untuk mengeluarkan jas hujannya. Beberapa orang terdengar menggerutu, sebagian cemberut, yang lainnya pasrah dengan senyum kecut. Namun bagi saya, hujan di gunung saat sore hari adalah sebuah janji. Janji bahwa kelak, saat hujan sudah berhenti dan kegelapan rimba sudah sempurna, akan tersibak misteri terbaiknya.

*****

1883080
Meski bahasan topik buku ini sangat menarik dan penting untuk memahami semrawutnya politik Indonesia beserta kegaduhan yang menyertainya, tetapi membacanya dalam kondisi tubuh lelah di gunung membuat saya harus memilih buku lain yang lebih ringan, haha.

Karena hujan semakin lama semakin deras, kami memutuskan bahwa kami akan bertenda di pos 2 saja. Keputusan ini sedikit berat dipertimbangkan sebetulnya, karena dengan total pos pendakian sampai 9 (belum termasuk pos 9-puncak), artinya saat summit attack, tim kami masih harus menempuh 7 pos pendakian berikutnya; terlalu jauh. Tapi karena hujan semakin deras dan tak ada tanda-tanda berhenti, terpaksa kami mendirikan tenda secepat mungkin di pos 2. Karena ‘masih siang’ jadi kami punya banyak waktu berkumpul-kumpul di tenda. Setelah bergosip dan makan-makan, saya masih menyempatkan diri untuk membaca buku Indonesian Politics and Society: A Reader karya David Bourchier. Tetapi hanya satu bab saja saya baca. Membaca buku tentang politik di gunung ternyata membuat badan lelah serasa bertambah. Haha. Saya langsung mengganti ke bekal buku kedua yang dirasa lebih ringan berupa kumpulan cerpen dari cerpenis terkemuka O. Henry yang kondang dan klasik itu.

Hujan berlangsung terus sampai malam bahkan ketika rombongan kami memutuskan untuk tidur. Melihat teman-teman saya tidur cepat, saya merasa ikut mengantuk juga sehingga hanya 3 cerpen yang saya lanjutkan baca. Ditemani rerintik hujan (dan kadang suara-suara ribut pendaki lain yang baru datang dan mencari sisa kawasan terbuka untuk mendirikan tenda dalam kondisi hujan dan gelap), saya melepas lelah, melesak sepenuhnya dalam dunia gelap bunga-bunga tidur.

Ketika kembali terjaga jam 2 dini hari, saya segera membangunkan rekan-rekan pendakian saya untuk berkemas menyiapkan bekal secukupnya melanjutkan perjalanan ke puncak sementara sisanya disimpan di tenda. Baru setengah jam kemudian mereka selesai berkemas dan tanpa membuang waktu kami melanjutkan pendakian. Seiring berhentinya hujan tadi malam (yang tak bisa saya duga sejak kapan berhentinya), keajaiban gelapnya rimba mulai tersibak. Hal yang saya idam-idamkan akhirnya tiba.

Saya berjalan di celah sempit jalan setapak yang kiri kanannya tertutupi lebatnya pepohonan. Langit begitu bersih tanpa ada awan, malam bulan mati membuat polusi cahaya purnama menghilang sama sekali. Melalui celah antara pepohonan sepanjang jalan yang tak tertutupi dedaunan, saya mendongak ke arah langit dan membuat mulut saya terbuka sangat lebar nyaris menganga. Rasi ScorpionCentaur… Salib Selatan… dan terutama rasi Hydra mengular semarak sepanjang celah daun-daun pepohonan. Begitu gemerlap, begitu cemerlang kontras dengan dasar kegelapan langit malam. Hampir tiap beberapa menit sekali saya mendongak untuk melihat pesona langit malam yang begitu tua ini.  Saya sering kali jalan terantuk-antuk karena terlalu sering menengadah. Siapa yang bisa menyalahkan saya?

*****

Karena rute pos pendakian masih amat panjang dari pos 2 ke pos 9, sementara area terbuka bebas pepohonan baru ada di pos 9, maka rombongan kami baru bisa mencapai area terbuka di pos 9. Dengan durasi mendaki lebih dari 3 jam, artinya kami harus melewatkan momen-momen matahari terbit yang puitis itu. Lebatnya pepohonan selama pendakian membuat pandangan kami kesulitan menjangkau cakrawala langit timur. Tapi toh saya tak berkecil hati karena saya yakin bahwa Gunung Slamet masih punya pesona-pesona lainnya. Apalagi langit malamnya yang walau cuma diintip dari celah dedaunan sudah sanggup menghibur saya yang rindu melihat bintang-bintang bertebaran yang selama ini tersembunyikan asap perkotaan.

Dari pos 9, pepohonan berhenti tumbuh seolah kekuatan tertentu menghentikan dan tak mengizinkan benih-benih tanaman tumbuh, kecuali ada beberapa semak dan rerumputan yang tumbuh acak di sela-sela bebatuan tajam. Angin terasa lebih kencang berhembus dan terutama membuat saya gentar (dan mungkin ini jadi alasan mengapa rute Gunung Slamet kalah populer dibandingkan gunung lainnya) adalah sisa pendakian antara pos 9 sampai puncak terasa begitu curam, terjal, dan amat panjaaaanggg. Begitu melihat sisa trek pendakian begitu sukar, saya melirik teman saya yang tersenyum kecut dan meringis. Rombongan pendaki lain bahkan ada yang menyatakan menyerah tak akan melanjutkan pendakian sampai puncak. Saya tak menyemangati mereka karena saya sendiri sadar konsekuensi apa yang akan diterima jika memaksakan pergi. Saya rasa, di antara puncak-puncak gunung lain di Jawa, jalan menuju puncak Slamet adalah salah satu yang paling terjal dan paling panjang selain jalan menuju Puncak Mahameru di Gunung Semeru.

Sebelum melanjutkan pendakian, saya sarapan bekal dan dengan sedikit enggan melanjutkan perjalanan ke puncak yang sesuai dugaan begitu sukar untuk ditempuh. Dengan kemiringan hampir 45° lebih serta bongkahan bebatuan keras dan besar-besar, saya harus berhenti tiap satu menit sekali untuk mengambil nafas. Benar-benar membuat payah. Baru dua menit mendaki, saya sudah menjumpai epitaph kenangan seorang pendaki yang meninggal di Slamet. Lempeng batu granit persegi empatnya dipahat nama pendaki beserta tahun lahir dan meninggalnya. Masih 15 tahun usianya saat dia meninggal. Usia yang begitu hijau, masih penuh semangat petualangan, masih banyak mimpi-mimpi dan harapan yang ingin diraih, tragedi menghentikan itu semua. Puncak Gunung Slamet menjadi mimpi terakhirnya yang ingin dia raih dan mungkin tak pernah bisa dia gapai. Saat melihat epitaph ini, entah mengapa udara dan angin serasa lebih dingin daripada biasanya dan membuat saya bergidik. Saya panjatkan doa pada rekan pendaki malang yang tak saya kenal ini, sambil berikrar bahwa saya akan menunaikan mimpinya merengkuh puncak Slamet yang terhenti….

IMG-20180219-WA0093
Goresan huruf-huruf yang mulai pudar, semakin membuat saya bergidik. Kelak cuaca akan menghilangkan sama sekali pahatan-pahatan ini. Jika sudah demikian, apakah pendaki malang ini akan masih bisa dikenang? Apakah masih ada orang-orang yang mengingatnya?***

Medan super terjal nan panjang, serta angin ribut membuat para pendaki terlihat kepayahan. Sepanjang jalur pendakian, banyak orang tergelatak kelelahan dengan nafas memburu karena lejar dan oksigen tipis. Sebagai sesama pendaki yang mengalami nasib sama, saya harus memberi semangat kepada mereka sehingga kami saling menyapa dengan senyum kecut dan ringisan. Namun satu hal yang pasti, dan saya hanya melihat momen-momen langka ini saat mendaki, adalah saya melihat mata yang berbinar-binar bersemangat menempuh jalan susah untuk menggapai puncak. Medan sukar akan tetap kami tempuh untuk mencapai puncak gunung yang menjanjikan keindahan paripurna.

20180217_084219_1
Gerak awan yang cepat menunjukan bahwa angin sedang dalam semangat tertingginya

Tapi tentu saja saya harus memberikan penekanan tajam di sini. Mendakilah sesuai kemampuan. Hanya kita sendiri yang faham dengan batas ketahanan tubuh kita. Jika dirasa tak kuat, jangan paksakan. Menambah ketinggian sekian meter untuk pemandangan (atau malah sekedar foto-foto kebanggaan) tak perlu sampai dijadikan pengorbanan. Saat mulai dirasa tak kuat, maka berhentilah, kalau perlu kembali ke bawah jangan sampai merepotkan diri sendiri dan orang lain. Jangan manjakan ego. Seindah apapun pemandangan di puncak gunung, jauh lebih indah melihat tawa orang-orang di rumah. Percayalah.

20180217_075450
Seorang pendaki beristirahat dengan memakan bekal dan merenung melihat lautan awan. Saya juga melakukan hal yang sama untuk memulihkan tenaga, hanya saja ditambah dengan membaca buku dari O. Henry dan mendengarkan lagu-lagu Simon & Garfunkel

Setelah hampir 3 jam sendiri yang melelahkan dari pos 9 menuju puncak yang begitu tunggang, akhirnya saya sampai ke puncak Slamet. Puncak Gunung Slamet berbentuk mangkuk bulat sempurna dengan kawah berasap di tengahnya. Saya banyak sekali beristirahat di bebatuan untuk mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang para pendaki lain melakukan hal serupa. Memandang jauh ke bawah (serta jauh ke atas puncak yang rasanya tak ada akhirnya) saya beristirahat sambil membaca buku cerpen The Gift of the Magi dari O. Henry. Cerpen-cerpen bijaknya menjadi obat penguat semangat saya. Pada salah satu bagian, saya menemukan kutipan yang dicantumkan di awal mula tulisan ini. “Life is made up of sobs, sniffles, and smiles, with sniffles predominating.” Kepayahan jalan selama pendakian, epitaph yang mengabadikan tragedi pendaki malang, dan terutama keindahan puncak gunung yang begitu mengagumkan, entah mengapa saya merasa terharu sekali begitu akhirnya saya mencapai puncak.

Hidup ini penuh isakan, tangisan, dan senyuman, dengan isakan yang merajai. Namun tangisan tak melulu sebagai ungkapan kesedihan. Saat kamu menitikan air mata yang mengekspersikan kelegaan, rasa syukur, kekaguman, keterpesonaan, kesyahduan, serta kegembiraan maka kamu sedang mengalami kebahagiaan tertinggi dan terdalam.

Di puncak Gunung Slamet, saya mengalaminya.

20180217_094142
Dari foto ini kamu bisa bayangkan betapa curamnya lereng menuju puncak serta betapa tingginya Gunung Slamet. Puncak Slamet menyembul menembus awan dalam kehampaan dan keheningan yang memabukkan

 

 

 

Catatan tambahan:

*    = Clifford Geertz, antropolog besar dari Amerika yang terkenal menulis buku The Religion of Java yang fenomenal sekaligus kontroversial bahkan bisa dikatakan radikal dalam hal mengulas secara tajam dan berani sisi antropologi masyarakat Jawa yang rumit dari berbagai aspek baik historis, sosial, budaya, dan tentu saja agama– menyajikan argumen menarik mengapa penduduk Jawa bisa sedemikian membludak padahal banyak pulau-pulau lain di Nusantara yang lebih luas. Di buku lainnya yang berjudul Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia, Geertz mengamati justru, dalam paradoks yang banyak orang keliru, praktik tanam paksa yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda malah mempercepat proses pertambahan penduduk terutama di daerah Jawa bagian tengah dan timur. Tentu saja kejadian kelaparan akibat praktik tanam paksa seperti yang diceritakan dalam novel Max Havelaar karya Multatuli memang terjadi di beberapa daerah di Jawa terutama di daerah Banten, tetapi efek tanam paksa di daerah-daerah lain bisa menjadi berbeda tajam.

Misal di daerah-daerah Jawa Tengah yang mendapatkan jatah menanam tebu, kepadatan penduduk semakin meningkat drastis seiring bertambah luasnya area kebun-kebun tebu. Daerah sekitar Gunung Slamet menjadi lahan subur untuk tebu sehingga memicu didirikannya pabrik-pabrik gula terbesar seperti di daerah Jatibarang di Brebes (di Brebes saja pemerintah Belanda mendirikan 2 pabrik besar gula lain selain Jatibarang). Jika kamu jalan-jalan/lewat ke daerah Jatibarang, akan menimbulkan nostalgia melihat bangunan pabrik raksasa, sisa-sisa rel lori, menara air kuno, cerobong asap pabrik menjulang, hingga perumahan mandor-mandor yang sayangnya kondisi sekarang tampak menyedihkan. Kebun-kebun tebu yang jumlahnya semakin menyusut karena menurunnya faktor kesuburan tanah hingga masa tanam tebu yang lumayan lama (sekitar 1 tahun lebih) kalah saing dengan padi yang bisa setahun beberapa kali tergantung varietas.

Geertz berpendapat bahwa ada asosiasi yang tak mungkin keliru bahwa kebun-kebun tebu dan padi menjadi pemicu utama bertambahnya populasi masyarakat Jawa. Maka sejak era tanam paksa dilakukan, kawasan-kawasan subur seperti di sekitar Gunung Slamet menjadi kawasan lebih padat secara drastis dibandingkan era sebelumnya. Maka kota-kota kecil seperti Brebes, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dsb menjadi kawasan padat penduduk. Kawasan kebun-kebun tebu luas menjadi daerah yang perlu tenaga banyak sehingga perkebunan tebu menjadi industri padat karya. Kebun tebu, sawah, dan populasi menjadi setali tiga uang. Dalam kata-kata Geertz, “Whatever the causes, the tie between sugar, wet-rice, and population density is unmistakable, all three ‘flourish’, if that is the proper word, together.” (Agricultural Involution, hal. 75)

**    = Gunung “Slamet” merupakan satu-satunya nama gunung di Jawa Tengah yang bercirikan/mendapat pengaruh bahasa Arab. Nama lama gunung ini adalah Pasir Luhur, nama yang berasal dari bahasa Sunda tersebut bermakna ‘gunung tinggi’. Secara historis, kerajaan Pakuan yang berpusat di Ciamis Jawa Barat mempunyai pengaruh ke timur melewati batas provinsi Jawa Barat yang sekarang dan menjadikan Gunung Slamet dan Sungai Pemali (di Brebes) sebagai batas timurnya. Nama “Slamet” baru disematkan padanya sekitar abad 16 ketika pengaruh Islam mulai datang dan merasuki kawasan tengah pulau Jawa.

***    = Dalam film animasi Coco (2017) karya sutradara Lee Unkrich kamu pasti tersedu-sedan saat salah satu tokohnya cemas dan khawatir jika orang tersayangnya yang sudah meninggal akan tak diingat oleh para kerabatnya. Ketakutan jika suatu hari kita meninggal namun tak ada yang mengingat kehadiran kita, adalah ketakutan yang didasari karena kita selalu ingin diingat oleh orang-orang yang akan kita tinggalkan yang saat ini sangat kita cintai. Jika suatu hari kita meninggal dan kita jadi takut karena tak ada yang akan mengingat kita itu bukan karena kita egois, tapi karena kita begitu mencintai orang-orang di sekitar kita. Selama hidup, kita ingin dicintai orang-orang di sekitar kita, pun setelah kita meninggal. Epitaph-epitaph yang dipasang di gunung untuk para pendaki yang meninggal saat mendaki seperti yang saya jumpai di Burangrang, Merbabu, atau Tambora adalah sebagian dari upaya untuk mengingat mereka yang dicintai yang telah pergi karena kecintaan mereka pada gunung-gunung. Banyak buku-buku, film-film, atau karya-karya seni lain yang begitu lugas dan mendalam dalam mengungkapkan rasa takut akan ketidakdiingatkan ini. Namun bagi saya, puisi dari Christina Rosetti (1830-1894) tetap merupakan salah satu yang terbaik karena kelugasan dan kesahajaannya,

Remember by Christina Rossetti

Remember me when I am gone away,
Gone far away into the silent land;
When you can no more hold me by the hand,
Nor I half turn to go yet turning stay.

Remember me when no more day by day
You tell me of our future that you plann’d:
Only remember me; you understand
It will be late to counsel then or pray.

Yet if you should forget me for a while
And afterwards remember, do not grieve:
For if the darkness and corruption leave
A vestige of the thoughts that once I had,
Better by far you should forget and smile
Than that you should remember and be sad.

Author: Qui

Climbing up the mountain of books and Reading a book while climbing the mountains

10 thoughts on “Gunung Slamet, Februari 2018”

    1. Hi Leo! Kemana aja? Ahaha.

      Sebenarnya naik gunung aman kok, asal persiapan bagus (baik bekal logistik maupun fisik). Sayangnya dg hebohnya media sosial dan tren ‘my trip my adventure’ masih banyak pendaki yg menyiapkan bekal kurang atau tindakan ceroboh lainnya. Selama bekal lengkap dan taat aturan (dibahas sedikit di tulisan ttg gunung Sindoro) sih enjoy aja kok. Paling capek badan remuk dan kaki pegal². ahahaha.

      Dan ya, Puncak Slamet termasuk puncak gunung yg sukar. Jalannya terjal banget. Harus fokus biar gak merosot atau jatuh terguling. Hehe.

      -Q

      Like

      1. Qui,

        Kapan-kapan kalau saya ada modal, saya mau naik gunung sama kamu Qui, tapi yang di lokal aja, soalnya kalau ke luar negeri gak kuat biayanya….konten kamu di Islandia tahun lalu itu favorit saya, saya gak kebayang jam 2 pagi disana udah terang….hehehehe

        Oia, Qui by the way, gue sekarang lagi nyamar di Goodreads dengan nama samaran Krea Baski. Kalau Qui punya teman di Goodreads dengan nama Krea Baski itu saya makanya photo profilnya sama…wkwkwkwk, Qui saya juga lihat progres membaca kamu di novel Infinite Jest DFW di Goodreads sudah sampai halaman ke 800, gue termasuk orang yang penasaran dengan si DFW ini, beberapa buku kindlenya sudah ada di handphoneku tapi belum sempat terbaca karena saya masih baca novel Catch 22 dan The Savage Detectives…

        Oia Qui, kalau kamu mau dan bersedia, gue mau tukeran pinjem novel hardcopy sama kamu Qui, novel hardcopy berbahasa Inggris di rumahku cuma ada sedikit…kalau kamu bersedia tukeran pinjam, kapan2 kita ketemuan yuk di Margonda, Depok setelah kamu namatin Infinite Jest-nya DFW, saya pengen ngobrol sama kamu terutama pengalaman membaca kamu soal Infinite Jest…soalnya gue dengar2, DFW ini punya hubungan persahabatan dengan Jonathan Franzen, sahabat sekaligus rivalnya…

        Ini list novel hardcopy yang ada di rumahku :

        1. The Sellout, Paul Beatty
        2. The Dog, Joseph O’Neill
        3. The Corrections, Jonathan Franzen
        4. Freedom, Jonathan Franzen
        5. Catch 22, Joseph Heller
        6. Where They Found Her, Kimberly McCreight
        7. A Brief History of Seven Killings, Marlon James
        8. City on Fire, Garth Risk Hallberg
        9. Moby-Dick, Herman Melville
        10. Don Quixote, Cervantes
        11. Hamlet, William Shakespeare

        Cuma ada segitu Qui, ya mudah-mudahan Qui bersedia tukar pinjam sama saya….hehehe ^_^

        Like

        1. Hi Leo,

          Wiuww… Udah jadi seleb sehingga harus pakai nama samaran segala… *sembah

          Tentu saja kamu boleh join pendakian saya. Tenang, saya masih berkeliaran di sekitaran Jawa kok. Pun pakai moda transportasi ekonomis semacam kereta/bus (kecuali kalau terpaksa, patungan BBM untuk bawa mobil pribadi). Cuman ya jadwalnya agak sporadis. Kebanyakan mendadak baru terjadi di seminggu sebelum pendakian. Haha.

          Nah… Tentang pinjem barter untuk IJ, sayangnya sudah ada tiga orang antri utk pinjem buku tsb. Kayaknya kesempatan kamu utk pinjem dr saya bisa bertahun-tahun lagi. Sorry. 😦

          Saya ada buku DFW lain sih, yg The Pale King kalau mau. Belum saya baca, nanti saja saya mau jelajah buku pengarang ain dulu. Haha. Penulis-penulis setipe DFW seperti Pynchon atau Bolaño (atau sekalian James Joyce) ada beberapa bukunya. Atau buku-buku dari Jose Saramago? Untuk buku-buku yg kamu tawarkan, kebetulan hampir saya sudah punya semuanya. 😛 Hanya The Sellout, The Dog atau City of Fire yg belum saya punya.

          Thank you.

          -Q

          Like

  1. Boleh deh Qui, saya mau pinjam The Gospel According to Jesus Christ-nya Saramago deh, Qui. Kalau yang terlalu tebal seperti 2666 Bolano atau Mason & Dixon-nya Pynchon takutnya lama sekali untuk menyelesaikannya. Itu pun kalau Qui bersedia meminjamkan novel Saramago itu ke saya…oia rumahmu dimana kalau gak salah di Depok ya Qui? Kapan-kapan ketemuan yuk di Margonda, Depok.

    Kalau soal pemakaian nama samaran, gue punya alasan personal Qui,, di satu sisi bersifat gaya-gayaan kaya Walt Whitman dulu pernah pakai nama samaran juga….wkwkwkwkwk, di sisi lain, gue agak paranoia dengan perpolitikan sastra Indonesia, gue cuma pengen berkarya aja, gak lebih dari itu. Soalnya, bagi gue politik itu kitcsh bukan high culture…hehehe

    Salam,

    Leo

    Like

    1. 2666 masih normal lah bahasanya, cuman tebalnya yg sangat mengintimidasi, ahaha. Kalo Mason & Dixon baru PR banget. Bahasanya full pakai bahasa Inggris tahun 1700-an, mabok bacanya, meski belum setebal buku Pynchon yg Against of the Day. XD

      Wew. Udah jadi sastrawan? o.O
      Ahaha. Kubu-kubuan antra sastrawan di Indonesia emang makin menyebalkan. Mungkin ini salah satu alasan kenapa saya tak terlalu antusias baca buku-buku sastra nasional (sepeti curhatan di ‘Best&Worst in 2017’).

      Untuk data diri seperti alamat dan mekanisme pinjam tukar, diskusikan di chat personal GoodReads saja, ya. XD *biar gak ada yg intip 😛

      -Q

      Like

Leave a comment