Terbaik dan Terburuk di 2017

“How often do we tell our own life story? How often do we adjust, embellish, make sly cuts? And the longer life goes on, the fewer are those around to challenge our account, to remind us that our life is not our life, merely the story we have told about our life. Told to others, but—mainly—to ourselves.”
― Julian Barnes, The Sense of an Ending

Tahun 2017 bisa dikatakan sebagai tahun terburuk sepanjang karir saya sebagai seorang pembaca buku, penonton film, dan pendaki gunung. Atau malah, dilihat dari sisi lain, salah satu yang terbaik?

*****

April is the cruellest month, breeding. Meski tidak sedahsyat tahun 2015 yang membuat saya masygul luar biasa, tetapi April tahun ini memang menjengkelkan luar biasa lain dari bulan-bulan lainnya sehingga membuat saya gusar. Untuk pertama kalinya saya ingin memaki-maki orang dan mengeluarkan koleksi nama-nama hewan seperti dalam permainan “pancasila lima dasar” zaman saya SD. Sampai-sampai teman saya kaget karena seolah ada bara di mata dan kilat api di bibir saya. Saya menjadi lebih ketus dan lebih banyak menghindari bertemu orang-orang kecuali beberapa kawan terdekat. Kawan saya yang kaget melihat saya bersikap drastis tersebut menyarankan agar saya melampiaskannya untuk menyebutkan nama-nama hewan. Maka akhirnya keluar lah serangkaian umpatan dengan nama-nama hewan dari mulut saya, Ikan betok!  Keong albino! Pacet sawah! Ayam boiler! Anoa pegunungan! Echidna moncong panjang! Aedes aegepty! Tiram mutiara bibir hitam! adalah sebagian dari nama-nama hewan yang saya tumbalkan untuk mengungkapkan rasa keki.

Rasanya mulut saya jadi kotor sekali sehingga saya benar-benar melakukan kumur-kumur dengan cairan mouth-wash 2x setelahnya. Tapi kedamaian dan pelampiasan baru benar-benar bisa saya rasakan setelah saya akhirnya mempraktikan teknik meditasi Transcendental Meditation selama hampir 2 jam, dilanjutkan dengan membaca puisi The Wasteland dari T.S. Eliot dan menonton film Yogoto No Yume (1933) dari Mikio Naruse. Saya tak tahu aktifitas mana yang paling berdampak, yang saya rasakan setelah melakukan rangkaian ketiganya adalah perasaan tenang, mood yang membaik, dan bisa berdamai dengan masalah yang saya hadapi. Sebuah beban terasa meluruh begitu saja, sesuatu yang mendesak terasa surut secara tiba-tiba.

Rasanya, kejadian lainnya yang saya alami di tahun 2017 kemarin bisa disarikan dengan kejadian yang mirip-mirip seperti itu tetapi dalam kadar yang lebih rendah. Saya mengalami jungkir balik emosi dan pemikiran yang tentu saja berkonsekuensi pada pilihan-pilihan dan tindakan yang telah akan saya lakukan di tahun itu. Itu artinya, buku-buku, film-film, dan musik-musik yang saya nikmati sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya (meski tak berubah banyak sih, hehe), pun hobi kecil seperti naik gunung juga terpengaruhi. Ini membuat karir puluhan tahun saya sebagai pembaca buku dan penonton film benar-benar dipertanyakan. Bahkan jumlah gunung yang saya daki di tahun 2017 begitu sedikit sampai-sampai saya memerlukan satu telapak tangan sebelah saja untuk menghitungnya.

Ya, nanti saya akan bahas ke sana. Tapi sebelum saya sampai pada ulasan film-film atau buku-buku apa saja yang terasa menarik dan tidak menarik yang saya saksikan, perkenankan saya untuk menceritakan hal-hal bertele-tele lainnya (seperti biasa), haha.

*****

Sejak awal tahun 2017, hidup saya sudah diawali dengan kegaduhan. Antusiasme politis menjelang pilkada serentak Februari 2017 telah menyeret masyarakat dalam fenomena kegemparan yang tumpat. Tanpa ampun lini masa media sosial saya dipenuhi aneka propaganda, kata-kata kebencian, dan berita bohong yang begitu mendugalkan. Sering kali disebarkan oleh orang-orang yang sebelumnya saya hormati sehingga membuat saya tak percaya jika orang-orang dengan kapasitas dan kompetensi yang patut dipuji sekalipun bisa larut dalam riak dangkal seperti itu. Lebih buruk lagi, tulisan maupun gambar atas seseorang dengan kilat menjadi viral sehingga penghakiman buruk dari warganet meledak-ledak yang dengan brutal dan bengis menyerang kehormatan dan hak-hak privasi seseorang, yang kebanyakan kemudian terbukti keliru. Klarifikasi dan verifikasi yang datang terlambat tak mampu menyelamatkan kehancuran yang terjadi begitu cepat dan menjungkirbalikkan nasib hidup seseorang dalam sesaat. Ada semacam rasa frustasi hidup sehari-hari yang sukar kemudian dilampiaskan dalam agresivitas di dunia maya.

Lalu pertengahan semester pertama 2017, serangkaian tindakan terorisme terjadi di beberapa tempat baik yang fatal seperti di Inggris (teror Manchester dan London) maupun yang terkesan seperti lelucon di Indonesia (bom panci dan bom halte bus) yang meski tampak menggelikan sesungguhnya memiliki ancamannya tetap nyata dan jelas. Ancamannya begitu dekat karena bisa saja menimpa saya atau kerabat saya. Apalagi kejadian teror Manchester dan London terjadi di lokasi yang seminggu sebelum kejadian saya mampir dan berada di sekitar tempat kejadian. Bagaimana jika sang teroris melakukan aksinya seminggu lebih cepat?

Terorisme dan kegaduhan politik di media sosial sepanjang 2017 membuat saya berfikir ulang tentang banyak hal terutama sisi agresif kolektif manusia dan kebencian yang menyertainya. Kita hidup di dunia dengan simpang takdir beririsan terhadap milyaran manusia lain, yang punya motif dan visi masing-masing dari yang mulia hingga yang gila. Di dunia ini, berbuat baik saja tidak cukup. Ada orang-orang brengsek yang selalu ingin berbuat kekacauan dan tak bahagia jika melihat orang lain bahagia.

Bahkan yang paling membuat saya semakin “sakit hati” adalah mendapati fakta bahwa orang-orang di sekitar saya banyak yang toleran terhadap berita kebencian dan aksi teror tersebut. Mengutuk tindakan terorisme sebagai perbuatan jahat dan buruk lalu berdoa semoga kita terhindar dari kejadian teror tentu saja bukan perbuatan salah. Namun terorisme bukan sekadar musibah yang ketika terjadi harus dihadapi dengan pasrah. Sesungguhnya terorisme adalah wabah yang bisa dicegah. Karena kita tidak menjabat di posisi-posisi strategis pemerintahan dan bidang keamanan, tindakan yang kita lakukan mungkin tak akan berdampak massif dan kuratif. Tetapi sebetulnya banyak dari tindakan-tindakan kecil yang bersifat preventif dan juga efektif. Kadang kita melihat seorang penulis buku atau tokoh terkenal tertentu yang hobinya pasang status yang isinya menghujat orang lain, menyebarkan keburukan tanpa disertai fakta memadai, menuduh orang yang bersebrangan dengan idenya, serta menyebarkan konspirasi jika kondisi buruk yang dideritanya adalah hasil perbuatan orang lain yang tidak dia sukai. Maka, jika menemukan status-status semacam itu, hentikanlah membaca buku-buku karya penulis-penulis itu, jangan komentari status-status mereka apalagi membagikannya meski itu tujuannya untuk mengejek ide-idenya. Ide-ide negatif menyebar lebih cepat dari pada ide-ide positif. Seburuk apapun status seseorang, akan ada orang lain yang mengamininya, yang tadinya kita berniat sebagai bahan untuk ‘mengejek’-nya malah berpartisipasi aktif membantu menyebarkan ide gelapnya.

Dengan membaca buku-buku atau tulisan-tulisan orang-orang penyebar konspirasi itu (atau sekedar membuat lelucon mencemooh), secara tak langsung kita malah semakin memberikan panggung yang memang mereka harapkan. Pada akhirnya, kebencian semakin membakar, kegaduhan semakin meledak, dan bahan bakar untuk memicu tindakan anarkistik dan aksi teror semakin melimpah. Sudah saatnya kita menghentikan tindakan glorifikasi kebodohan dan kebencian. Demokrasi memang menjamin setiap orang untuk menuangkan pikiran dan ide-idenya ke khalayak, tetapi ide-ide buruk justru bisa jauh lebih populer dan lebih cepat diterima khalayak. Jika sudah demikian, saya menjadi teringat pada kebencian Socrates pada demokrasi*.

David_-_The_Death_of_Socrates
La Mort de Socrate (The Death of Socrates) karya Jacques-Louis David menggambarkan Socrates sebagai martir demokrasi setelah dipaksa minum racun coniine dari tanaman Hemlock (cek catatan kaki untuk penjelasan)

*****

Saya tak ingin menjadi bagian dari itu. Saya akhirnya memutuskan bahwa sudah saatnya saya beristirahat dari dunia maya. Saya memang tidak berniat menghapus akun-akun media sosial saya (saya masih membutuhkannya untuk menjalin kontak dengan kawan-kawan sekolah saya misalnya), tetapi saya juga ingin hidup yang lebih tenang tanpa perlu melihat sisi buruk dari teman-teman saya. Saya ingin mengenang mereka sebagai orang-orang baik yang dulunya saya berbincang asyik dengan mereka, bekerja sama dengan mereka, atau melakukan hal-hal baik lainnya. Untuk mengalihkan semua itu, saya memilih membatasi aktivitas di dunia maya. Akun utama media sosial saya hanya dikunjungi dalam durasi tak sampai 10 menit dalam seminggu (pun itu kebanyakan hanya untuk mencari penjualan buku-buku impor bekas, haha). Saya juga menghentikan sama sekali aktivitas membuka situs berita nasional (televisi sejak tahun lalu sudah saya matikan sama sekali).

Kalaupun saya membaca web-web berita, biasanya malah situs berita asing tentang kabar negara asing. Toh, kabar dalam negeri dengan mudahnya terprediksi tanpa perlu membaca setiap update. Paling-paling beritanya berkisar pada seseorang yang melakukan pernyataan kontroversial sehingga dihujat massal karena viral, penangkapan pejabat dengan tuduhan korupsi yang begitu bombastis tapi tak pernah diberitakan bagaimana proses hukumannya (karena persidangannya sendiri terlalu panjang dan melelahkan untuk diikuti sehingga ketika hasil diputuskan, masyarakat sudah dialihkan isu lain yang lebih ‘asyik’ dan mengabaikan hasil putusan sidang betapapun tak adilnya), atau kejadian kriminal yang menimpa seseorang terkenal lalu menjadi tragedi nasional tanpa ada tindakan preventif yang menyentuh esensi akar masalah, dan hal-hal lain yang begitu gemuruh di awal tetapi melempem di akhir justru di titik-titik paling krusial. Berita-berita nasional begitu geger memberitakan sesuatu/seseorang, namun terlalu mudah juga melupakan sehingga kejadian sama selalu terulang. Orang yang dulu dihujat tahun lalu, bisa dielu-elukan di tahun berikutnya. Terlalu gampang memaafkan, terlalu gampang melupakan, terlalu gampang menyesalkan.

Akibatnya, di tahun 2017 saya menjadi lebih “anti-sosial” daripada tahun-tahun sebelumnya. Semakin sedikit membuka akun media sosial dan lebih memilih untuk berinteraksi langsung dengan orang-orang, entah di kegiatan aksi sosial, kegiatan kerumunan komunitas, atau sekadar ngobrol-ngobrol biasa. Untuk situs-situs media yang telanjur di-“follow“, saya lebih memilih menggunakan metode kuno “email subscription” ketimbang harus melihat akun media resmi situs-situsnya untuk update berita yang menarik dan terbaru (atau info diskon terbaru untuk buku, haha). Berita-berita dan artikel menarik masuk ke surel saya sehigga saya tetap mendapat kabar terbaru tanpa perlu melihat update-an lini masa medianya.

Begitulah, saya mengerjakan laku hening selama 2017 yang pada awalnya terasa berat (pernah membayangkan seminggu tanpa membuka FB/IG/TW/dll?) tetapi begitu dijalani terasa menyenangkan dan damai. Tidak ada lagi kegaduhan, tidak perlu jengkel dan cemas membaca status-status yang membuat sebal, dan terutama, saya jadi punya banyak waktu luang yang membuat saya menjalankan proyek-proyek ambisius dalam hal membaca buku dan menonton film.

*****

Dari target 200 buku per tahun yang saya ingin capai, saya sudah mencapai targetnya sejak Oktober. Dengan sisa dua bulan, seharusnya saya bisa menambahkan lebih banyak lagi buku bacaan. Tapi nyatanya saya hanya berhasil menambah 15 buku saja sehingga total buku terbaca hanya 215 buah buku saja. Penambahan buku yang tak lebih banyak ini terjadi karena dalam sisa waktu digunakan untuk menonton serial-serial dan film-film lebih banyak. Ada 385 film yang ditonton dan 38 serial TV yang ditamatkan di tahun 2017.

Akhirnya, setelah prolog panjang ngelantur di atas, bahasan sesungguhnya mengenai film-film dan buku-buku terbaik serta terburuk sesuai judul tulisan ini bisa segera dimulai. Haha. Mari saya ulas satu-satu.

Film-film yang Tertonton

Sejak awal 2017, saya sebetulnya sudah punya ikrar untuk menonton (sebagian menonton ulang) sinema-sinema Jepang klasik yang diproduksi dalam rentang waktu tahun 1920 sampai sekitar tahun 1970-an. Target awal mula, saya ingin menamatkan 200 film dari sekian ribu fim-film yang diproduksi dalam periode klasik tersebut. Namun tentu saja banyak sekali godaan lain (terutama target baca dan tetiba banyak serial TV yang menarik untuk diikuti).

Human-Condition-1_card.jpg
Salah satu adegan paling ikonik dalam sejarah sinema Jepang ini diambil dari trilogi Ningen No Jōken karya Masaki Kobayashi. Film berdurasi hampir 10 jam ini menggambarkan realita perang dalam kondisi paling ekstrem yang kebrutalannya mampu mengubah (dan memunculkan) sifat-sifat terbuas manusia

Dari mulai era film-film Jepang bisu tahun 1920-an, saya akhirnya bisa menonton maraton secara beruntun film-film sutradara “dewanya sinema” Jepang seperti film-film karya Yasujirō Ozu, Kenji Mizoguchi, Sadao Yamanaka, Mikio Naruse, hingga Akira Kurosawa. Film-film Ozu yang selalu menjadi pelarian saya saat ingin mencari kedamaian dan kekhusyuan, film-film Mizoguchi yang saya tonton jika ingin mencari keindahan, atau film-film Naruse yang dibalik kisah-kisah tragisnya justru menghasilkan arus semangat hidup yang meruah setelah penyaksiannya. Masaki Kobayashi, Teinosuke Kinugasa, Keisuke Kinoshita, Hiroshi Inagaki, Nagisa Oshima, Kaneto Shindo, Masahiro Shinoda, Shohei Imamura, atau Hiroshi Teshigahara… adalah sebagian kecil sutradara-sutradara era keemasan sinema Jepang lain yang saya tonton film-filmnya. Ah.. sepertinya saya harus membuat tulisan sendiri yang menceritakan pengalaman saya tentang film-film Jepang ini (yang jika diniatkan, akan mencapai puluhan edisi sendiri, haha).

Karena menyaksikan serangkaian film-film klasik tersebut, saya jadinya tidak punya waktu lebih banyak untuk menonton film-film terbaru di bioskop. Seingat saya, jumlah film yang saya tonton di bioskop sepanjang tahun 2017 kurang dari 7 buah. Pun itu karena menemani saja (yang pastinya hanya film-film superhero dan blockbuster saja). Dan tentu saja semuanya tidak ada yang membuat saya terkesan. Jika harus membuat daftar film-film terburuk dan terbaik, kira-kira daftarnya akan seperti ini;

Film-film Paling Mengecewakan

5. Thor: Ragnarok (Taika Waititi, USA)
Saya menyukai film-film Waititi sebelumnya, selera humor ironinya yang berlimpah membuat film-filmnya selalu menyajikan komedi segar. Masalahnya, Ragnarok (semestinya) adalah tragedi, bukan komedi. Adegan-adegan karikaturalnya terasa slapstik dan dipaksakan

4. Star Wars: The Last Jedi (Rian Johnson, USA)
Saya tahu saya minoritas tentang penilaian terhadap film ini. Tapi saya merasa kalau film ini semakin terasa nge-pop, berusaha terlalu keras menjadi ikon pop dekade baru, tetapi dengan tokoh-tokoh yang tak memorable. Saya terkantuk-kantuk beberapa kali saat menontonnya

3. Transformers: The Last Knight (Michael Bay, USA)
Hal-hal nonsense membanjiri seluruh film ini sejak awal hingga akhir. Saya masih tak bisa percaya, mengapa orang-orang masih tetap menonton film yang penuh trik murahan dan hal-hal konyol seperti ini

2. The Snowman (Tomas Alfredson, UK)
Thomas Alfredson membuat film horor vampir terkeren di millenium ini lewat film Låt Den Rätte Komma In dan salah satu film spionase terbaik di dekade ini lewat Tinker Tailor Soldier Spy. Tapi semua pencapaian ini tak ada artinya sama sekali saat dia membuat film The Snowman. Film ini benar-benar buruk. Aktor sekelas Michael Fassbender pasang muka “saya-gak-ngerti-saya-harus-memerankan-apa-di-film-ini” dengan editing cerita yang beneran acakadut (adegan melompat-lompatnya lebih bikin pusing ketimbang naik komidi putar 24 jam nonstop)

1. Tulip Fever (Justin Chadwick , USA/UK)
Kamu pasti pernah dengar cerita begini; dua sahabat laki-laki bekerja sama, lalu si pasangan perempuan dari salah satu laki-laki naksir laki-laki lain. Klise ya? Sebetulnya jika dikemas tepat, tetap bisa menjadi bahan menarik. Tapi film ini menggarap premis itu seklise-klisenya, sebosan-bosannya, sejenuh-jenuhnya. Sesuai judul film, saya tetiba merasa demam setelah menontonnya

Ya, tentu saja ada lebih banyak lagi film-film yang jelek dan lebih buruk lagi daripada yang sudah saya sebutkan. Tapi seperti biasa, saya harus menahan diri untuk mengurangi cemoohan pada hal-hal buruk. Jadi, saya lanjutkan ke daftar berikutnya

Film-film Paling Menyenangkan

Beberapa film berikut sudah keluar sejak 2016, namun karena baru menontonnya di tahun ini, saya masukkan ke daftar tahun ini alih-alih daftar tahun lalu.

20. Jeannette: The Childhood of Joan of Arc (Bruno Dumont, France)
Bayangkan film The Sound Music tapi berlatar abad pertengahan yang brutal dan seksis, dan juga orang-orang fanatik terhadap doktrin keagamaan yang berkeliaran dan gemar mengusik

19. Certain Women (Kelly Reichardt, USA)
Beberapa tahun terakhir ini, Kristen Stewart berhasil melepaskan image cewek-muka-papan di film vampir-berkilau-itu, yang terbukti sukses. Film ini adalah salah satu puncak akting seorang K-Stew

18. Beach Rats (Eliza Hittman, USA) +  120 Battements Par Minute / BPM (Robin Campillo, France)
Biasanya film-film bertema LGBT sangat klise dalam hal plot (orang-orang yang bimbang dg orientasi seksualnya dikungkung masyarakat yang penuh penghakiman), tetapi kedua film ini berhasil keluar dari premis klise tersebut menjadi sesuatu yang menarik. Khusus untuk BPM, pesan moralnya begitu menghentak

17. Get Out (Jordan Peele, USA) + The Big Sick (Michael Showalter, USA)
Isu rasisme memang masih merupakan topik rapuh untuk ditampilkan dalam media film sekalipun, salah sedikit maka akan dicaci maki. Get Out melakukannya dalam pendekatan horror-thriller yang berani, sementara The Big Sick melakukan pendekatan komedi romansa yang bahkan dialog-dialognya tampak tabu untuk ditulis dan diucapkan tapi sukses dihasilkan

16. Phantom Thread (Paul Thomas Anderson, USA)
PTA adalah seorang master!

15. Geu-hu / The Day After (Hong Sang-soo, South Korea)
Dialog-dialog panjang di film ini mungkin akan melelahkan sebagian audiens, sementara yang lain akan mendapatinya begitu jenius dan orisinil. Dan bernyali

14. L’Amant d’un Jour / Lover for a Day (Philippe Garrel, France)
Premis plot yang klise dan tipis, tetapi digarap dengan akting dan sinematografi menawan. Oh, tak ada satupun detik-detik yang terbuang

13. The Meyerowitz Stories (Noah Baumbach, USA)
Baumbach adalah spesialis sutradara bagi film-film yang jiwa tokoh-tokohnya tersesat dalam belantara masyarakat urban yang hiruk pikuk

12. Toivon Tuolla Puolen / The Other Side of Hope (Aki Kaurismäki, Finland/Germany)
Oh, sudah pasti inilah film terlucu di tahun ini, yang juga sekaligus film yang akan membuatmu banyak merenung

11. Rester Vertical / Staying Vertical (Alain Guiraudie, France)
Film paling provokatif yang saya saksikan di tahun 2017. Kata “dasar gendeng” untuk memaki sutradaranya bisa bermakna pujian juga

GS.png
“Come back! Even as a shadow, even as a dream,” kutipan dari drama-tragedi Herakles karya Euripides inilah yang paling bisa merangkum isi film A Ghost Story yang begitu vulgar mengulas ketakutan kita tentang kehilangan

10. A Ghost Story (David Lowery,  USA)
Kamu tak akan pernah bisa melihat kain putih dengan cara yang sama lagi. Film yang begitu sabar menuntun penonton pada klimaks yang membuat hati hancur berkeping

9. The Breadwinner (Nora Twomey, Canada/Ireland/Luxembourg)
Betul. Ini adalah film animasi terbaik tahun ini

8. The Square  (Ruben Östlund, Sweden/Germany/France/Denmark)
Saya tak habis pikir, bagaimana bisa ada orang yang memiliki ide (dan mewujudkannya!) sehingga keluar film dengan cerita seperti The Square?

7. Hymyilevä Mies /The Happiest Day in the Life of Olli Mäki (Juho Kuosmanen,  Finland/Germany/Sweden)
Mencari kesalahan di film ini seperti mencari retakan di batu permata bernilai 100 juta dollar. Begitu sempurna tak ada cacat

6. The Killing of a Sacred Deer (Yorgos Lanthimos, Ireland/UK/USA) + Mother! (Darren Aronofsky, USA)
Sejak menit pertama, kedua film ini sudah menyajikan adegan-adegan yang membuat kita tak nyaman, terus berlangsung sepanjang film, dan diakhiri dengan ending yang membuat kita ingin mengeluarkan segala sumpah serapah dan makian terburuk

5. Visages Villages / Faces Places (Agnès Varda, France)
Agnes Varda adalah sutradara wanita yang paling saya kagumi. Kali ini dia mengajak kita berjalan ke daerah pinggiran kota serta seni jalanan yang sering kali diabaikan banyak orang, namun di tangan Varda memberi banyak pelajaran hidup berharga

4. Strong Island (Yance Ford, USA/Denmark)
Dokumenter tentang penelusuran pembunuhan yang personal ini begitu menyentuh dan mengajari kita tentang kehilangan, makna keluarga, dan isu-isu rasisme yang masih menjamur di abad ke-21 ini

3. Zama (Lucrecia Martel,  Argentina/Brazil/Spain/Netherlands/Mexico/Portugal/USA)
Seperti melihat lukisan-lukisan aliran impressionism yang semarak, berwarna terang, namun sesungguhnya bergolak dahsyat

2. Testről és lélekről / On Body and Soul (Ildikó Enyedi,  Hungary)
Premis sederhana (atau mungkin begitu dugaan awalnya) jika digabungkan dengan akting yang solid, sinematografi menawan, akan menjadi film yang molek. Tapi semua itu hanya jebakan bak rumah kue dan gula-gula di cerita Hansel and Gretel. Tanpa ampun, sebelum sempat mengantisipasi sama sekali, Enyedi menawarkan akhir yang brutal, aneh, dan asing seperti halnya jiwa itu sendiri.

1. Нелюбовь / Loveless (Andriy Zvyagintsov, Russia/France/Belgium/Germany)
Zvyagintsov selalu sukses menampilkan keterpurukan manusia yang setragis-tragisnya dengan begitu agung. Tragedi yang dirayakan. Penuh pesimisme sepanjang film namun selekas menontonnya malah membuat kita semangat menjalani hidup. Paradoks-paradoks yang dirasakan setelah menonton film Zvyagintsov akan terus terasa bahkan berhari-hari setelah kita menontonnya

Meski saya semakin jarang menonton film-film di bioskop, tetapi di sebuah komunitas pecinta film, saya sering datang acara nonton bareng film-film klasik yang sudah lama sekali ingin saya putar ulang. Meski sebetulnya saya bisa saja menonton film-film sendiri di rumah, tetapi bergabung dengan sesama rekan yang menyukai film-film klasik dan seni, bisa begitu membuat saya tergugah. Misal pada saat menonton film  L’Odeur de la Papaye Verte (1993) karya Tran Anh Hung, saya bertepuk tangan keras di akhir film bersama penonton lain padahal saat menonton sendirian dulu pertama kali tidak demikian. Atau tertawa tergelak-gelak sampai nyaris terjungkal dari kursi bersama penonton lain saat menonton bareng film Hausu (1977) karya Nobuhiko Obayashi yang sebetulnya penuh adegan ngehe dan dialog corny.

Selain film-film klasik Jepang yang saya sebutkan sebelumnya, saya tentu saja menonton film-film klasik dari negara lain. Dari sekian banyak yang saya tonton, adalah film A Brighter Summer Day (1991) karya Edward Yang sebagai film terbaik dari yang terbaik yang saya saksikan di 2017 (dan menonton di 2017 ini adalah yang kedua kalinya). Dengan durasi 4 jam-nya, film ini menawarkan segala yang bisa ditawarkan sebuah tayangan sinema kepada penontonnya.

*****

Sementara itu, untuk serial TV, saya tak akan berbicara terlalu banyak. Beberapa yang benar-benar harus saya sebutkan adalah serial Twin Peaks: The Return karya sutradara nyentrik David Lynch yang tak hanya menghipnotis tetapi juga membingungkan. Jangan pernah berusaha keras memahami ceritanya. Larutkan diri dalam kepasrahan dan kita akan tenggelam dalam dunia mimpi yang menakutkan, aneh, jenaka, dan penuh jebakan menyesatkan. Atau serial dokumenter Wormwood karya dewa sutradara spesialis dokumenter Errol Morris yang begitu meresahkan dan membuka mata.

Namun, jika ditanya serial TV apa yang paling menarik selama 2017, maka saya lebih memilih jawaban yang “aman”, saya akan memilih serial dokumenter Blue Planet II dari BBC. Menggunakan teknologi terkini untuk mengambil gambar bahkan dari lokasi-lokasi yang paling terasa musykil dan dedikasi para kru yang tak ada putus-putusnya untuk dikagumi, ditambah proses editing yang luar biasa tabah, hasilnya adalah serial dokumenter alam yang luar biasa indah dan menyentuh. Kapan lagi kamu bisa menangis terharu hanya karena melihat ikan bertelur? Gegara serial Blue Planet II ini, saya sampai mencari-cari serial alam BBC lain. Dan bulan Desember yang seharusnya saya gunakan untuk membaca buku tambahan di atas target 200 buah, malah terhambat karena maraton serial dokumenter alam BBC tadi (ada 8 serial yang berhasil ditonton dengan masing-masing jumlah episode antara 8 sampai 10)–dan sebetulnya saya sama sekali tak menyesalinya, malah bersyukur. Entah mengapa, melihat hewan-hewan berperilaku yang terkadang manusiawi (banyak sekali momen yang membuat kita tergelak tapi lebih banyak lagi yang membuat tersedu sedan) membuat iman saya pada kemanusiaan dan harapan pada masa depan lebih bertambah ketimbang menyaksikan berita dan perseteruan manusia di media sosial yang hewani dan brutal.

Setiap potongan gambar di serial ini selalu membuat saya bertanya,
bagaimana cara para kru mengambil gambarnya?

*****

Di paragraf mula sekali tulisan, saya menuliskan bahwa tahun 2017 bisa jadi adalah salah satu tahun terburuk saya selama berkarir sebagai penonton film. Dengan alasan yang sudah dijabarkan di atas, 2017 adalah tahun paling sedikit saya menonton film di bioskop. Bahkan sepanjang tahun 2017, hanya sekali saja saya datang ke acara festival film pun itu datang malam-malam di hari kerja biasa karena weekend yang terhambat. Saya banyak sekali melewatkan acara festival film karena bentrok dengan acara sosial yang saya inisiasi bersama teman-teman saya (akan kurang ajar sekali jika saya tidak datang pada acara hari H sementara selama berbulan-bulan saya dan teman-teman lain menyiapkannya), atau karena ada kegiatan lain yang membuat saya harus keluar kota. Ya, seperti tahun 2015 atau tahun 2016 sih intinya, tetiba saya menjadi (sok) sibuk luar biasa sehingga banyak melewatkan acara-cara semacam festival film atau kesenangan pribadi yang dilakukan sendiri. Salah seorang teman sampai-sampai betulan getok kepala saya begitu akhirnya bertemu saya setelah 3 janji yang batal secara beruntun, atau beberapa orang lain yang ngomel panjang lebar, mengeluh, bahkan marah karena harus menunggu selama hampir 2 bulan agar bisa bertemu. Haha. Setelah dipikirkan kembali, rasanya saya tak sesibuk itu sepertinya, tetapi entah mengapa untuk keluhan-keluhan tadi saya sendiri tak bisa membantah banyak.

Pun untuk karir saya sebagai pendaki. Rasanya saya lebih banyak melihat tas keril saya ngejongkrok sampai berdebu karena jarang dipakai. Sampai suatu saat mau memakai, keluar cicak dari dalam tas keril yang tak saya resletingkan, sial**. Haha. Setahun ini saya hanya mendaki gunung 4x saja. Pun itu hanya gunung-gunung dekat sekitaran Jawa saja (dan dari empat pendakian itu, tak ada yang sempat saya tuliskan catatan pendakiannya di blog ini, haha). Tapi saya punya pembelaan untuk pendakian sedikit ini. Sejak awal tahun sampai akhir April, hujan terus menerus datang sehingga saya dan teman-teman saya memutuskan bahwa demi alasan keselamatan, kami terpaksa harus melewati pendakian awal tahun yang biasa kami lakukan. Baru sejak pertengahan tahun saya mulai aktif mengajak mereka untuk mendaki. Dan sialnya, hujan sudah mulai turun lagi di bulan Oktober. Hal ini membuat ajakan untuk mendaki gunung kembali ditanggapi dengan hambar. Dan terjadilah, dalam 5 tahun terakhir, 2017 adalah tahun paling sedikit saya mendaki gunung.

*****

Bagaimana dengan dunia bacaan saya selama di tahun 2017? Ya, ceritanya akan sedikit panjang, jadi saya buatkan sesi khusus sendiri berikut. Haha.

Buku-buku yang Terbaca

Entahlah, tapi setidaknya ada korelasi tak langsung, saya pikir dengan dugalnya saya dengan isi-isi media sosial dan media massa nasional, selama tahun 2017 saya nyaris tidak membaca satupun buku yang ditulis oleh orang Indonesia atau buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Padahal banyak buku sastra atau sejarah yang berbahasa Indonesia di tumpukan buku-buku saya yang ingin saya baca sejak lama sekali. Tapi begitu mencari buku bacaan, yang langsung saya sentuh pastinya yang berbahasa Inggris terlebih dahulu.

Tadinya saya pikir prioritas saya membaca buku berbahasa Inggris adalah karena pola saya yang acapkali membaca buku di tengah perjalanan/pendakian, nongkrong di café, di dalam kendaraan umum, atau saat di ruang tunggu dokter/bank, dll. Membaca di ruang publik gitu, akan jadi lebih keren jika buku yang dibaca adalah buku berbahasa Inggris kan? Haha (*dikeplak). Tapi setelah dipikirkan kembali, alasan utamanya bukan karena itu. Bahkan saat saya sedang di rumah pun, saya lebih memilih novel picisan berbahasa Inggris untuk pengantar tidur ketimbang buku sejarah menarik berbahasa Indonesia. Keriuhan sosial media dan berita di sekitar saya seolah membuat saya ingin mengasingkan diri dari hal-hal keseharian yang bising termasuk bacaan berbahasa Indonesia, selain tentu saja masalah teknis seperti kualitas terjemahan dan editing. Ketika saya ingin mencari ketenangan di dalam buku, saya secara tak sadar juga menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan saya pada kebisingan itu, dalam hal ini bacaan berbahasa Indonesia.

Tak hanya buku saja sebetulnya, selama tahun 2017 saya tidak membaca satupun situs berita-berita berbahasa Indonesia, kecuali artikel-artikel editorial, tematis, atau lepasan yang bukan membahas kejadian aktual (misal laporan/artikel tentang kuburan-kuburan kuno), pun kebanyakan karena tak sengaja ke-klik dari tautan yang disebar teman saya di aplikasi percakapan di ponsel. Dari 215 buku, satu-satunya buku berbahasa Indonesia yang saya baca di tahun 2017 adalah buku Javasiesta, itu juga karena saya kenal dengan penulisnya. Pun dibacanya saat saya sedang bukan di Indonesia. Seperti halnya pendakian gunung atau menonton film, tahun 2017 adalah tahun paling sedikit saya membaca buku berbahasa Indonesia (cuma satu). Sudah sepantasnya saya menyebutnya sebagai tahun terburuk dalam karir saya sebagai pembaca sejak usia 4 tahun.

Buku-buku Paling Mengecewakan

Karena nyaris tak ada buku berbahasa Indonesia yang saya baca, maka tak seperti tahun-tahun sebelumnya, daftar buku-buku mengecewakan saya di 2017 tak lagi yang berbahasa Indonesia seperti tahun-tahun sebelumnya. Dosa saya yang selalu memasukan buku-buku berbahasa Indonesia dalam daftar bacaan terburuk jadi terhindari di tahun ini, hehe (tapi dosa tidak membaca buku berbahasa Indonesia sepertinya lebih fatal).

Dalam kategori buku mengecewakan, sudah pasti saya akan menyebut The Return of the Young Prince (A.G. Roemmers) yang membuat saya senewen. Saya ingin mengenang si Pangeran Kecil-nya Saint-Exupéry dengan manis, bukan sosok pangeran remaja tengil yang bukunya getir. Membaca buku The Girl on the Train (Paula Hawkins) juga membuat saya keki karena hype-nya yang berlebihan tak sebanding dengan cerita yang disajikan.

EverythingEverythingCover.jpg
The greatest risk of all is reading this one

Dengan alasan menambah variasi bacaan, saya memberanikan diri membaca buku-buku remaja (tahun sebelumnya saya membaca buku A Monster Calls karya Patrick Ness yang menyenangkan), maka tahun 2017 saya membaca  buku yang katanya sedang heboh, Everything, Everything (Nicola Yoon) yang membuat saya tertatih-tatih membacanya. Membosankan, twist yang diberikan sudah dapat ditebak di 20 halaman pertama. Apalagi jika kamu sudah menonton film Kynodontas (Yorgos Lanthimos, 2009) Dan tentu saja ada novel Origin (Dan Brown) yang ceritanya ingin terlihat canggih dan kekinian, tapi topik yang disajikan begitu basi dan kadaluwarsa (jika kamu rajin memantau berita-berita sains, “penemuan terbesar dan terheboh” yang disajikan Brown sudah kelewatan tanggal kadaluwarsanya bertahun-tahun lalu).

Gegara seseorang meminjamkan buku The Happiness Project (Gretchen Rubin), saya malah mengalami masa-masa tak menyenangkan saat membaca bukunya. Jika buku-buku self-help dianggap dapat menyelamatkan nyawa seseorang, maka saya perlu kemampuan kucing yang punya 9 nyawa agar bisa selamat menamatkan buku tersebut. Buku self-help ini mungkin sebanding dengan musik-musik pop yang populer ditonton milyaran orang di youtube itu; dangkal dan tak menawarkan apa-apa selain rasa jemu karena setiap orang menganggap itu adalah hal terkeren dan membacanya akan membuat kamu masuk golongan orang-orang “terkini”. Sementara buku The Secret History of the World karya Jonathan Black akan masuk dalam daftar buku sejarah terburuk yang pernah saya baca.

Buku-buku Paling Menyenangkan

Dengan berkurangnya waktu untuk mengecek media sosial, saya punya banyak waktu lebih banyak untuk membaca buku-buku tebal. Akhirnya, saya bisa menamatkan buku The Stand karya Stephen King versi lengkap setebal 1400 halaman lebih. Saya juga membaca maraton 6 buku dari serial fantasi epik The Wheel of Time karya Robert Jordan yang masing-masing tebal bukunya di atas 700 halaman. Hanya saja saya harus menyerah di buku ke-6 ini dari total 14 seri, karena mulai membosankan, setiap buku terasa dipanjang-panjangkan sekali, padahal dari 100 halaman pertama bisa langsung loncat ke 100 halaman terakhir.

Novel-novel klasik sekali seperti The Decameron karya Giovanni Boccaccio begitu mengejutkan saya karena temanya yang nakal dengan kritik sosial yang tajam masih relevan dengan kondisi sekarang padahal ditulis 700 tahun yang lalu. Novel-novel dari pengarang ternama seperti In Dubious Battle karya John Steinbeck yang kaya akan kritik sosial, Indignation karya Philip Roth yang memberi banyak pelajaran berharga bagi mereka yang mengalami krisis mental menjelang fase dewasa, The Son karya Philipp Meyer yang mengisahkan saga koboi yang begitu realistis bahkan jika disettingkan di Indonesia sekalipun, novel Decline and Fall mungkin jadi novel satir terlucu saya di 2017 karena sindiran tajam dari Evelyn Waugh dalam mengkritisi sopan santun Inggris dengan benar-benar jenaka, atau The Sense of an Ending karya Julian Barnes yang begitu bijak dan sensitif dalam memaknai kehilangan, kematian, dan kehidupan. Membaca buku Barnes membuat saya ingin menguas buku ini dengan cat kuas karena begitu banyak kutipan yang indah untuk diwarnai dan dirujuk di tiap halamannya.

Sementara itu, novella From the Land of the Moon karya penulis Sardinia Milena Agus memukau saya karena intensitasnya dalam menggambarkan emosi manusia begitu padat dan kuat, padahal tebalnya hanya 100 halaman lebih sedikit. Perlu bakat langka untuk bisa membuat karya sepadat dan sekuat ini. Pun novel Akenfield karya Ronald Blythe yang meski bersetting di Inggris, tapi rasa frustasi yang dialami penduduk desa di daerah pinggirannya akan beresonansi kencang dengan cerita-cerita kakek-nenek saya yang meski tinggal menyepi di daerah tetapi tetap merasakan gejolak dua arah, dari dalam dimana penduduk desanya yang putus asa dengan keterbatasannya maupun dari luar dimana mimpi-mimpi kota yang mengancam dan menggoda. Novel grafis Ethel and Ernest dari Raymond Briggs begitu nostalgisnya sehingga beberapa bagian membuat bola mata saya berkeringat karena menjadi teringat dengan pengalaman-pengalaman kakek saya yang didongengkan beliau saat saya masih kecil. Tetapi itu belum ada apa-apanya dibandingkan saat saya membaca Baltasar and Blimunda karya José Saramago. Jika kamu selesai membaca buku ini, jangan berani memandang dirimu di depan kaca, karena pasti akan jelek sekali dengan mata sembab dan cairan hidung yang lumer. Oh… ya… ampun… sampai sekarang saya masih tak siap ketika akhirnya sampai pada ending yang memilukan itu… Ini adalah novel yang amat cerdas, kompleks, rumit, sekaligus menyayat-sayat hati.

Bicara tentang buku yang kompleks serta rumit, saatnya saya membahas buku nonfiksi. Buku The Human Condition karya Hannah Arendt bukanlah buku yang mudah sama sekali tetapi menyajikan perspektif unik saat membahas kepribadian manusia dalam kaitannya dengan kekuasaan yang membelit dan berkonsekuensi mencengangkan. Buku God Created the Integers: The Mathematical Breakthroughs that Changed History karya Stephen Hawking setebal 1100 halaman dengan setengah lebih penuh simbol-simbol aneh matematika tingkat tinggi menyadarkan saya bahwa pengetahuan matematika saya sudah karatan sama sekali. Saya harus melewatkan banyak bagian karena banyaknya simbol matematika aneh dan persamaan-persamaan rumit yang sudah lama sekali tak saya jumpai, untungnya Hawking sangat berbaik hati menyediakan essai dan rangkuman untuk konsep-konsep matematika yang mengubah sejarah itu. Sesungguhnya buku tersebut adalah sekuel dari buku kumpulan konsep-konsep fisika yang mengubah sejarah yang juga disunting oleh Hawking berjudul On The Shoulders Of Giants: The Great Works Of Physics And Astronomy. Buku Arendt adalah buku filsafat, buku Hawking adalah buku matematika. Bagimana jika matematika, fisika dan filsafat digabung menjadi satu buku? Selamat datang di salah satu buku paling bikin mumet sepanjang masa yang pernah saya baca; Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and the Entanglement of Matter and Meaning karya Karen Barad. Barad menulis topik yang amat luas, mulai dari konsep political science, teori feminisme dan rasial, dan hal-hal berat lain termasuk konsep jiwa dan kesadaran. Semuanya diulas dari sudut pandang fisika kuantum tingkat tinggi yang membuat urat-urat kepala saya berdenyar setiap membaca kalimat-kalimatnya. Bayangkan dirimu disuapi kepiting saus tiram, tapi lengkap dengan pecahan capit dan cangkangnya. Lezat, bergizi, namun jelas membuat ngilu.

On Ugliness
Lewat pendekatan Apollonian vs Dionysian, Eco menantang pengetahuan, prasangka, dan dilema moral kita bahwa konsep ‘buruk rupa’ yang dicaci lebih rumit dan mendalam ketimbang ‘rupawan’ yang dipuji

Saya sudah semestinya menyebut buku On Ugliness karya Umberto Eco sebagai buku yang mengesankan dibaca di 2017. Sebagai kelanjutan buku dia sebelumnya History of Beauty, Eco kali ini membahas mengapa konsep buruk rupa yang milyaran orang mengutuk dan menghindarinya, justru merupakan konsep vital dalam sejarah manusia. Bahkan ketika konsep ‘rupawan’ begitu mulai membosankan, konsep buruk rupa justru lebih rumit dan menarik.

Untuk kategori biografi/memoir, saya membaca salah satu biografi sains terkeren yang pernah ditulis yang berjudul Subtle Is the Lord: The Science and the Life of Albert Einstein dari Abraham Pais. Tak seperti buku biografi lain tentang Einstein, buku yang ditulis oleh sahabat dekat Einstein sekaligus fisikawan ini juga, tak hanya menceritakan kehidupan pribadi Einstein tapi juga persamaan-persamaan fisika yang membawa Einstein ke puncak kemasyhuran. Kita tak mungkin bisa mengaku tahu Einstein tetapi tidak familiar dengan konsep-konsep fisika yang diusung Einstein. Buku biografi non-sains yang menarik adalah buku J.D. Vance berjudul Hillbilly Elegy: A Memoir of a Family and Culture in Crisis yang bisa menjelaskan mengapa mimpi-mimpi konyol yang dijual Trump bisa merebut hati banyak orang Amerika. Orang Amerika mana yang acap dipandang begitu modern tapi begitu mudah terperdaya oleh kampanye seorang demagog?*

Buku The Demon-Haunted World: Science as a Candle in the Dark karya Carl Sagan begitu lezat dibaca sampai-sampai saya tak bisa memutuskan apakah buku ini buku fiksi karena prosanya yang luar biasa indah, atau buku sains yang begitu memberikan banyak pencerahan, atau malah kitab suci karena begitu banyak kalimat-kalimat kebajikan. Dan tak ada buku yang begitu kuat membangkitkan nostalgia sekuat buku Let Us Now Praise Famous Men karya James Agee. Memadukan fotografi klasik hitam-putih yang kontras dengan kekuatan narasi reportase tajam, Agee membawa kita pada pengembaraan terpuruknya Amerika pada periode Depresi Besar 1920-an yang mengenaskan. Melihat foto-fotonya kita tak hanya tersentuh dan menaruh iba pada orang-orang yang tak akan kita temui, tetapi juga memberi api semangat yang hangat pada dada kita. Bahwa, di saat-saat terburuk dimana hal-hal buruk yang tak bisa kendalikan terjadi, hanya diri kita sendiri yang bisa menyelamatkan kita.

Saat saya membaca buku Middlesex karya Jeffrey Eugenides di kursi taman St James’s Park London, dengan burung-burung merpati berseliweran di kaki saya dan tupai-tupai berlompatan di dahan-dahan di atas kepala saya, saya cekakan hebat luar biasa sampai-sampai seorang turis dari Italia yang duduk di bangku sebelah kaget. Astaga, novel ini lucu sekali, padahal yang diceritakan adalah tragedi-tragedi perang dunia pertama atau isu kekerasan diskriminasi kultural, rasial, dan seksual. Tapi cara Eugenides menceritakannya begitu gelap sekaligus jenaka, membuat saya masih terpingkal-pingkal bahkan saat membaca narasi seorang tokoh di novelnya meninggal dunia (si turis Italia berakhir dengan berjanji akan mencari buku itu dan membacanya karena penasaran).

Dan tentu saja, kalian pasti sudah bisa menebaknya jika buku terbaik saya di 2017 pastilah buku Independent People karya nobelis Halldór Laxness. Dibaca di negeri asalnya Iceland saat melakukan perjalanan ke sana, Independent People telah mengajarkan banyak hal dalam hidup saya melebihi kebanyakan buku-buku lain. Membacanya langsung di tanah-tanah yang diceritakan dalam bukunya yang tak banyak berubah meski berjeda seratus tahun lebih dari setting cerita, membuat pembacaannya semakin menggetarkan. Begitu intens, bertenaga, dan life-changing, saya pikir cara pandang hidup saya menjadi berbeda setelah menutup halaman terakhirnya.

*****

Jika saya membandingkan kehidupan sehari-hari di luar buku atau film yang telah diuraikan sebelumnya selama tahun 2017, lalu membandingkannya dengan tahun-tahun sebelumnya, rasanya tak ada banyak hal berubah. Beberapa kebiasaan seperti menahan diri untuk tidak menonton televisi, menghindari membaca situs berita nasional, mengurangi penggunaan media sosial, memilih berjalan kaki untuk menempuh jarak dekat, rasanya masih sama dengan tahun sebelumnya. Pun kebiasaan saya membatasi diri untuk tidak mengkonsumsi daging dari jenis mamalia atau unggas. Tahun 2017 nyaris sempurna menghindari mengonsumsi daging, kecuali beberapa produk olahan seperti bakso. Atau dalam jumlah yang sangat terbatas sekali seperti saat naik gunung, saya mengkonsumsi sosis dan nugget karena tim pendakian kami memasak makanan tersebut. Dan ya… tentu saja, there’s always cheat day.

Seperti tahun sebelumnya, seperti biasa, atas permintaan seseorang yang ingin merayakan ulang tahunnya di tempat makan steak saya “terpaksa” makan steak dalam jumlah besar. Karena ybs menyatakan sanggup membayari tagihan makan saya, tentu saja saya memilih menu termahal, haha. Ya setahun sekali lah, harus sengaja memilih yang terbaik. Tetapi karena saya banyak menonton acara serial alam hewan, ketika menggigit daging steak, saya malah membayangkan diri saya menjadi seekor singa yang mengoyak daging impala. Saya sampai ditegur ybs karena saya sedikit bengong melihat lelehan lemak dari keratan potongan steak seolah sebagai darah merah segar. Sepertinya saya mengalami sedikit syok, karena selama beberapa hari berikutnya, saya nyaris tak mau melihat menu daging apapun terutama berjenis steak. Saya kadang mengunyah selada dalam waktu cukup lama untuk “mencuci” aroma daging yang rasanya menempel begitu lama di lidah, pada hari-hari setelahnya.

*****

Begitulah, bagi saya tahun 2017 adalah tahun yang riuh, penuh rasa frustasi dari orang-orang yang kemudian meluapkannya dalam postingan media sosial yang agresif.  Propaganda yang menggila, penghujatan yang menderas, kabar palsu yang membanjir, status-status viral nan dangkal yang menggerojok, serta ujaran-ujaran kebencian yang menumpah ruah telah menjadikan 2017 sebagai tahun yang penuh putus asa, tahun yang penuh perpecahan, tahun yang penuh kebebalan, tahun yang penuh kecurigaan, tahun yang penuh kebencian.

Untuk pertama kalinya, saya merinding melihat teman-teman saya yang mendadak tak saya kenali lagi karena perubahan sikap-sikapnya. Saya tetiba merindukan hari-hari sebelum masa masa perpecahan ideologi dan politik yang merembet kepada isu rasial, sains, dan agama menghiasi beranda media sosial saya. Hari-hari yang masih sederhana dimana orang membuat status di media sosial hanya untuk menanyakan kabar kerabat, berbagi informasi bermanfaat bagi sesama, dan membuat grup untuk mengumpulkan kabar kawan yang sudah lama tak terlihat ketimbang membuat grup untuk mengumpulkan orang-orang seideologi untuk menghujat yang lain yang tak sefaham. Hari-hari yang begitu tentram dimana foto-foto berkumpul bersama lebih banyak dipasang ketimbang foto-foto selfi penuh unjuk diri, foto-foto yang menonjolkan kepemilikan berbalut kebanggaan berlebih tanpa ada rasa peka pada kekurangan sesama. Hari-hari yang masih diisi kebersamaan, hari-hari yang masih penuh harapan. Apakah hari-hari semacam itu memang pernah ada, atau hanya dalam imaji saya belaka?

“Those were good days. They were serene days and quite undemonstrative, like the best days in one’s life… Nothing happens; one simply lives and breathes and wishes for nothing more, and nothing more.”
― Halldór Laxness, Independent People

 

Catatan Tambahan

*       = Socrates sering dianggap sebagai salah satu bapak dari peradaban barat modern. Hidup di masa Demokrasi Athena yang menyediakan ladang subur pemikiran bebas untuk digali, anehnya Socrates justru menjadi satu dari sedikit sekali filsuf yang membenci demokrasi. Dalam jilid ke-6 di buku The Republic-nya Plato, Plato menceritakan dialog antara Socrates dengan tokoh bernama Adeimantus. Socrates mencecar konsep demokrasi yang punya kelemahan fatal. Menganalogikan kehidupan masyarakat demokrasi dengan penumpang kapal, Socrates melayangkan pertanyaan, “apakah penumpang kapal memilih kapten kapal berdasarkan pemungutan suara? bagaimana jika kapten kapal yang terpilih tidak mengerti sama sekali ilmu pelayaran?”. Pertanyaan Socrates yang valid dan kuat itu sesungguhnya berujung pada poin kritis yang akan menghantui kehidupan demokrasi sejak bangsa Athena hingga zaman modern sekarang; Memilih dalam pemilu harus memerlukan skill, bukan intuisi acak. Pemilih harus kritis dan mampu berfikir secara sistematis, bukan dipengaruhi emosi atau intuisi. Sialnya, propaganda yang diamini atau latar belakang calon yang dipilih sangat mempengaruhi intuisi pemilih (latar belakang, agama, ras, nasionalisme, suku, warna kulit, rupa wajah, asal-usul leluhur, garis keturunan, gender, hingga kesehatan). Fenomena Brexit, pemilu presiden AS, bahkan kegaduhan dan perseteruan tak sehat selama dan setelah pilkada terjadi karena hal-hal yang dicemaskan oleh Socrates.

Poin penting yang juga dibenci Socrates dari demokrasi adalah kenyataan bahwa pada praktiknya, tidak ada korelasi antara hak memilih dengan kebijaksanaan. Ketika semua orang punya hak sama untuk memilih dengan alasan yang sama seperti hak-lahir itu artinya demokrasi yang diidealkan secara intelektual sukar sekali terwujud. Pilihan mayoritas bisa salah, jika golongan mayoritas tak memiliki kekritisan intelektual. Dan Socrates faham betul kemana hal ini bisa mengarah; Demagogi. Demagog adalah sebutan untuk pemimpin (politikus) yang lihai menghasut rakyat untuk mendukungnya memperoleh kekuasaan dengan cara-cara yang tak sepenuhnya baik. Dengan memanfaatkan isu-isu yang menguliti latar belakang pihak lawan seperti yang saya sebutkan satu-satu di paragraf sebelumnya, para demagog bisa menjadi sangat populer dan mudah mendapatkan kekuasaan.

Di zaman Socrates, orang Yunani menyaksikan sendiri kebangkitan seorang demagog bernama Alcibiades yang kharismatik, kaya, lihai berkata-kata namun menjerumuskan Athena pada peperangan di Sicilia yang menghancurkan. Socrates secara cerdik menganalogikan kelahiran seorang demagog dalam kisah debat dua calon pemimpin yang berlatar dokter dan penjual gula-gula. Si pedagang gula-gula menyerang si dokter dengan mengatakan bahwa si dokter telah menyakiti kita dengan penanganan medis yang menyakitkan, memberi ramuan-ramuan pahit dan beresiko membawa bahaya pada dosis yang salah, atau melarang mengkonsumsi makanan/minuman enak. Atau dengan kata lain si dokter berbuat jahat. Mayoritas audiens tak akan mendengarkan jawaban dan pembelaan si dokter karena apa yang diucapkan si penjual gula-gula begitu lihai menyerang latar belakang si dokter yang didukung pengalaman para audiens mendukung pernyataan si tukang gula-gula.

Secara tragis, Socrates meninggal karena proses demokrasi yang dia kritik. Karena dianggap menyebarkan faham buruk bagi anak muda Athena, Socrates dihukum. Dalam voting yang dihadiri 500 warga Athena, hasilnya adalah hukuman mati untuk Socrates dengan metode meminum racun coniine. Ganti kata “faham buruk bagi anak muda Athena” dengan “konspirasi ekonomi negara asing, komunisme, zionisme, pro-LGBT, antek liberal”, maka semuanya menjadi begitu terang dalam memahami kegaduhan politik di negara kita. Peringatan Socrates masih menghantui sejarah manusia lintas masa dan bangsa meski sudah berusia dua ribu tahun lebih, kita lebih terbuai untuk memilih si penjual gula-gula ketimbang mencari dokter.

**      = Cicak rumah (Hemidactylus frenatus) adalah salah satu hewan domestik yang paling sukses beradaptasi dengan lingkungan manusia. Berasal dari daratan Asia Tenggara, hewan ini sukses menyelinap dan menyebar sampai seberang benua Amerika sana. Di malam hari yang tenang, ketika kamu sedang merenungkan hakikat dan tujuan hidup kamu sambil memandang langit-langit kamar, seekor cicak mungkin akan memandang balik dirimu, dalam kebingungan yang sama, mengapa ada manusia yang menatap nanar atap langit-langit. Hehe. Pernahkah kamu berfikir mengapa kamu lebih sering melihat cicak berkeliaran dalam rumah pada saat malam hari ketimbang siang hari? Apa yang dilakukan cicak saat siang hari? Dimana mereka sembunyi? Jawabannya tentu sangat mudah, cicak rumah adalah hewan nokturnal alias hewan yang aktif di malam hari. Saat siang mereka mencari tempat gelap dan kering yang membuat mereka tersembunyi dari pemangsa seperti ular atau kucing. Tas gunung saya yang tak diresletingkan tentu saja menjadi tempat ideal untuk cicak bersembunyi.

Yang menarik dari cicak rumah ini (hal sama juga hewan reptil lainnya) adalah kebiasaan mereka melakukan brumasi (brumation) yang sekilas mirip dengan kebiasaan hibernasi pada mamalia. Jika pada hibernasi mamalia tidur untuk menghemat energi, cicak yang melakukan brumasi belum tentu tidur. Meski tujuannya sama untuk menghemat energi, tapi cicak yang sedang brumasi pada siang hari masih menunjukan perilaku aktif seperti minum (tapi tidak mencari mangsa).

Author: Qui

Climbing up the mountain of books and Reading a book while climbing the mountains

21 thoughts on “Terbaik dan Terburuk di 2017”

  1. *baca panjang dan endingnya bahas cicak. Ya ampun Qui, tetep yak X)) *

    Bagiku tahun 2017 juga tahun yang “berat” untuk alasan – alasan yang sudah dibilang Qui di awal – awal. Aku juga merasakannya, bahkan mulai pertengahan 2017 sampai beberapa bulan setelahnya, aku mengalami apa yang aku namakan “penurunan iman”. Bagi orang lain mungkin konyol ya, haha. Tapi ini pengaruh ke aku juga sayangnya. Memang harus mulai mengurangi lihat FB, Twitter, dan yah…berusaha untuk ga nanggapin issue – issue yang ada.

    Aku setuju yang Thor Ragnarok, tapi aku lebih ke “ini kenapa jadi film komedi yak?”. Rasanya downgrade saja ceritanya kalau dibandingkan film – film sebelumnya, walau jujur aku juga tetep ketawa saat menonton sih. Yang The Last Jedi…aku suka – suka aja dan suka melihat perdebatannya apakah film itu dianggap merusak saga Star Wars :P. Film terbaik Qui…aku ga ada yang tahu. Nasib orang nonton film – film yang mainstream sepertinya XD.

    Qui ga tahan baca Wheel of Time? Baca fantasy dengan tebal di atas 500 halaman itu bagiku menantang sekali sih. Selama ini baru karya Brandon Sanderson (Elantris, Mistborn) dan Jim Butcher (Codex Alera) yang masih bisa aku baca dan aku tidak merasa bosan, walau mungkin trope fantasynya terasa didaur ulang. Coba sekali – kali nanti Qui baca lah :D.

    Makasih Qui buat postingan terbaik dan terburuk 2017. Aku juga berharap 2018 ini tenang (dalam artian di sosmed), tapi mengingat tahun depan mau pilpres…kayaknya cuma wishful thinking ^^;

    Like

  2. Haha. Tadinya saya mau memasukkan sedikit teori filsafat atau bahasa fisika sebagai pengganti cicak. Tapi karena bakal lebih panjang daripada ilmu politik Socrates itu, saya cari topik lain yang lebih ringan XD

    Well… Saya tak bisa berkomentar banyak hal ttg “iman” karena itu adalah ranah personal. Tapi membaca orang yang mengumbarnya di media sosial, kadang bikin jengah juga, apalagi sampai menilai kadar dan kualitas iman seseorang hanya karena perbedaan pandangan politik atau kospirasi saja.

    Saya hampir tak suka semua film Thor (Thor 1-2 mungkin film superhero terburuk), tapi lihat Ragnarok bikin saya berfikir bahwa film-film Thor sebelumnya jauh lebih baik. Tentang TLJ… ya sudalah ya. Haha.

    Mengenai film-film terbaik saya, tak semuanya “film aneh” kok. Beberapa masih kategori mainstream dan masuk nominasi Oscars juga. Coba saja tonton beberapa, abis nontonnya banyak hal menarik untuk didiskusikan dan dibahas.

    Saya baca WoT series sampai seri ke-6 (rata-rata tebal buku tiap judul adalah 800-an halaman). Tapi karena polanya gampang sekali ketebak (pecah ongsi di awal buku, bersatu lagi di akhir) begitu terus, terasa sekali bertele-telenya, sementara “universe”-nya yang saya kira bakal secanggih Middle Earth tak terjabarkan terlalu banyak. Untuk memanjangkan cerita, terlalu banyak “random people” yang dimasukkan dalam cerita. Saya sekarang vakum dulu untuk serial fantasi yang serinya terlalu banyak dan tebal-tebal. Tapi ada beberapa seri fantasi yang menarik minat saya seperti bukunya N. K. Jemisin. Tapi nanti aja bacanya kalau etemu buku fisiknya, hehe.

    Sangat susah mengharapkan tahun 2018 yang lebih tenang. Pilkada masih bergulir dimana-mana. Riak gemuruh akan masih terus menjalar ke daerah. Lalu dilanjutkan persiapan pilpres 2019. Ah ya… Tahun-tahun yang penuh kedamaian akan semakin tinggal jadi bayangan.

    Like

    1. 215, ah. *gak ikhlas, haha

      Sosial media memang menggoda. Tapi dia bukan rumah untuk semua orang, tidak hanya bagi mereka yang gemar menebar berita tak baik juga buat saya yang ingin mencari ketenangan.

      Selamat melakukan ritus laku hening. Selamat membaca.

      Like

        1. Hehe. Sama-sama. Seperti kutipan pembuka dalam tulisan di atas, tulisan saya hanya bicaraan ngelantur ttg diri saya untuk diri saya sendiri. Jika dianggap menginspirasi (tapi somehow saya gak ngeliat sebelah mananya, haha), saya merasa tersanjung dan mengucapkan terima kasih kembali karena mau susah payah membaca lanturan panjang saya. Haha.

          Semoga tahun 2018 kita lebih banyak diisi suasana hangat dan terang, untuk mengimbangi dan menghadapi sisi dingin dan gelap diri kita dan orang-orang sekitar.

          Liked by 1 person

  3. Terima kasih qui masih konsisten menulis terbaik dan terburuk di beberapa tahun belakangan, semoga terus konsisten. Setiap kegiatan yang kamu lakukan seperti membaca, menonton dan kegiatan lain sebagainya, bisa saya buat referensi. Tahun 2017, mungkin daftar film atau buku yang saya tonton dan baca tidak sebanyak kamu, tapi memang circle pertemanan sedikit-banyak mempunyai pengaruh apa yang dilakukan. Tahun 2017, selain menonton dan membaca yang jumlahnya tak seberapa, saya terpengaruh bermain game oleh teman-teman. Belakangan saya mulai tersadar, jika game yang saya mainkan melenceng dari tujuan awal saya untuk bersenang-senang. Ada beberapa game yang semakin lama kita bermain, semakin membuat ketagihan dan menyita waktu. Beberapa hari terakhir saya memutuskan untuk pensiun bermain game tersebut. Saya hanya main satu-dua game yang tidak menyita waktu dan membuat saya terhibur, sehingga saya bisa membaca, menonton film, melakukan kegiatan yang disuka, dan membuat pribadi yang lebih berbahagia. Tahun ini saya ingin mengisi blog saya, siapa tahu tulisan saya bermanfaat untuk orang lain, salam.

    Like

    1. Hi Taufiq,

      Wah, terima kasih suda mau meluangkan waktu untuk membaca tulisan saya dan merasa tulisan saya yang ngelantur ini membawa manfaat. Seperti komen saya sebelumnya di atas kamu, tulisan-tulisan saya tak dimaksudkan sama sekali sebagai bahan inspirasi atau permintaan berbuat sesuatu, hanya murni unek-unekan saya belaka. Haha.

      Dan tentang game, memang sangat beresiko sekali. Dulu pas kuliah tingkat 1, saya hampir saja tergoda bermain game konsol. Tapi karena untungnya terlibat kegiatan aktif di unit/kegiatan kemahasiswaan, saya memiliki alasan pengalih sehingga tak sampai jatuh kecanduan. Sekarang saya hanya memasang game-game kecil saja di HP (paling sudoku, catur, atau game-game kecil asah otak yang memang sengaja dibuat agar saya cepat bosan tak bisa berlama-lama dengannya, haha). Game-game yg melibatkan interaksi sosial yg bisa membuat ketagihan (seperti game console atau game-game di aplikasi sosial Telegram, dll) sengaja saya hindari sama sekali.

      Dan, saya senang mendengar kamu akan melakukan banyak hal lain yg lebih bermanfaat. Semoga tetap konsisten karena sudah pasti kamu akan menghadapi masa-masa jenuh dalam membaca, dll. Beragamilah jenis bacaan, mulai berani membaca buku-buku yg diluar genre kebiasaan agar kamu tertantang dan keluar dari “zona nyaman” sehingga setiap membaca buku adalah petualangan baru.

      Saya tunggu tulisan blognya. Mari terus membaca. Mari terus bertualang.

      Salam.

      -Q

      Like

      1. Terima kasih Qui atas tanggapan hangat dan masukannya, sekali lagi, tindakan untuk game yang kamu lakukan bisa saya ikuti hehehe. Mungkin ada rekomendasi akun medsos ataupun website langganan yang menjual buku² berbagai macam genre?

        Like

        1. Kalau situs jualan buku, saya sekarang beli buku-buku berbahasa Inggris saja. BookDepository (untuk buku baru) atau BetterWorldBooks (untuk buku bekas), keduanya free ongkir. Sisanya nitip teman, grup-grup jualan buku di FB/IG, atau hunting langsung di toko-toko buku bekas. Hehe.

          Selamat berburu.

          -Q

          Like

          1. Setelah melihat-lihat di kedua website tersebut, jika dibandingkan dari segi harga dengan buku yang sama di Indo, kok harganya lebih mahal ya hehehe. Apalagi jika dibandingkan dengan pameran buku seperti Big bad wolf, selisih harganya malah lumayan, memang pilihan buku di pameran gak begitu beragam, kok bisa gitu ya?

            Sekali lagi, terima kasih Qui sudah berbagi informasi.

            Like

            1. Tergantung judul bukunya apa sih. Terus harus rajin memantau info diskonan di situs-situs tsb. Diskonnya bisa jauh lebih murah ketimbang di toko-toko buku impor di mall (bisa sampai 80%-annya). Di saat yang tepat, saya sering mendapat buku yg harga aslinya 40 USD, bisa saya dapatkan dengan nilai 4-5 USD saja.Kalau dibandingkan dg BBW, ya BBW memang lebih praktis dan diskon lebih jelas Hanya saja judul buku yg tersedia kan lebih sedikit.Yg dua situs tadi judul lebih lengkap, dan gratis ongkos kirim ke Indonesia.Rajin bandingkan saja dg Periplus atau Books and Beyond.

              Sama-sama, Taufiq. Jangan sungkan bertanya. Senang berbagi informasi emski belum tentu akurat dan baik, hehe.

              Like

  4. Wow, saya suka sekali list filmnya, karena saya kurang kekinian terutama untuk film bukan produksi hollywood. Boleh tau situs favorit untuk update film non-hollywood?

    Like

    1. Hi Teka,

      Ya, film-film independen dan non-mainstream memang sangat mengasyikan; sellau memberikan kejutan, narasi yang liar, dengan sudut pandang luas yang tak ditawarkan sisi hitam-putih ala film-film blockbuster.

      Untuk film-film asing, biasanya saya mendapatkannya di situs-situs “underground” semacam Torrent (atau kadang deepweb). Forum-forum diskusi film di Reddit, dll juga kadang memberikan petunjuk dan tautan kemana saya harus mencari dan mendapatkannya (tapi tautannya cepat hilang jadi harus sigap). Forum-forum semacam Kaskus, Indowebster, idfl, Ganool, dll juga sering memasukkan film-film asing ke dalam daftar unduhannya. Harus sering mengunjungi sehari minimal sekali saja. Film-film yg “sepi peminat” begini cepat tersingkir dari halaman pertama, jadi harus menggali dalam.

      Salam,

      Q

      Like

  5. 1. Kalau saya sih memilih mengikuti akun-akun yang menyenangkan seperti akun-akun buku, hewan, alam, sains, atau akun recehan yang bisa membuat saya senang dan tertawa di twitter maupun instagram. Di Telegram pun saya mengikuti banyak channel meme recehan yang selalu sukses membuat saya tersenyum sampai ngakak. Btw, ayo main poker lawan saya 😋

    Apa ada akun yang mengganggu di twitter saya? Beberapa. Saya memang memilih mengikutinya, ntar kalau sudah merasa terganggu ya dimute saja. Sepertinya sebagian besar akun politik dll sudah saya mute deh, ntar kalau butuh baru diunmute hihi. Kalau sudah tidak tahan, ya ntar langsung unfollow saja.

    Saya pun tidak mengikuti semua akun media sosial teman lama saya walaupun saya tahu akun mereka dan beberapa mengikuti saya. Yaahh kan cuma media sosial saja, bukan berarti saya ada rasa bermusuhan dengan mereka, sudah tidak pernah ketemu juga sih, soalnya cuma interaksi di grup wa doang. Dari grup pun saya tahu bahwa ada beberapa teman saya yang sudah berbeda pandangan dan cara pikir dengan dulu.

    Tapi kamu sudah memutuskan apa yang menurut kamu terbaik, tidak ada yang salah dalam pilihan kita masing-masing fu fu.

    Bagi saya sih mudah saja tidak membuka media sosial selama seminggu atau lebih, karena menurut saya tidak membuka chat platforms itu lebih susah daripada tidak membuka media sosial. Misalnya saat kamu di tempat susah sinyal lalu tiba-tiba ada akses wifi, aplikasi apa yang akan kamu cek terlebih dahulu? Saya rasa sih wa 🙂
    Karena itulah bukan puasa media sosial yang saya lakukan.

    2. Hausu mah film dagelan, tidak ada seramnya sama sekali. Saya malah ngakak terus waktu nonton karena adegannya lucu.

    Dari beberapa film Akira Kurosawa yang sudah sempat saya tonton sejauh ini, favorit saya tetap Dreams yang saya tonton saat zaman kuliah. Adegan pernikahan rubahnya keren sekali.
    Dari daftar film terbaikmu tahun 2017 yang sudah saya tonton hanya Get Out saja. Film yang menyeramkan 😨

    Film-film lama juga banyak di youtube, saya bulan ini nongkrong mulu di sana. Sejauh ini sudah nonton beberapa film yang semuanya thriller walaupun tidak seram, plus Cosmos-nya Sagan 🙂 saya tidak menyangka kalau film lawas banyak juga yang bagus. Karena sedang mencari referensi judul film lawas selain thriller lah saya sampai di sini.

    Panjaaang, malu juga rasanya. Untung anonim 😛

    Nb: saya jadi teringat nasihat pilihan hidup tentang media sosial dan berinternet yang kamu berikan kepada saya dulu 😶 saya menurut, walaupun alasannya berbeda jauh dari curhatan kamu di atas ahaha

    Nb2: pisuhanmu sopan ya XD

    Nb3: rasanya ini komentar paling berfaedah yang saya kirim di blog ini 😶

    Like

    1. Hi there,

      1. Yep, keputusan apapun yang kita ambil, adalah hasil pemikiran masing-masing dengan mempertimbangkan konsekuensinya. Saya tak melarang atau menganjurkan apapun mengenai hal ini.

      Anyway, terima kasih untuk ajakan pokernya. Sayangnya saya belum bisa bergabung. Ada hal-hal lain yang harus saya lakukan. Maaf. 😦

      2. Happy finding!

      Salam,

      Q

      Like

Leave a comment