Terbaik dan Terburuk di 2015

“If one wanted to depict the whole thing graphically, every episode, with its climax, would require a three-dimensional, or, rather, no model: every experience is unrepeatable. What makes lovemaking and reading resemble each other most is that within both of them times and spaces open, different from measurable time and space.”
― Italo Calvino, If on a Winter’s Night a Traveler

200 buku. 305 film. 18 serial TV. Ok, sesi curhat dimulai. Haha.

Pertama, ini rekor terburuk saya. Biasanya saya bisa membaca buku dan menonton film lebih banyak dalam setahun. Banyak faktor penyebab mundurnya prestasi jumlah buku yang dibaca dan film yang ditonton. Pertama kegiatan menanjaki gunung yang dilakukan hampir sebulan sekali membuat saya kadang keteteran meluangkan waktu khusus di akhir pekan dengan kegiatan membaca/menonton seperti biasanya. Saya kadang menyiasatinya dengan membawa buku ke gunung dan membaca di sela-sela pendakian jika memungkinkan. Tetapi tetap saja, kecepatan membaca saya tidak bisa secepat saat membaca buku di kursi (atau kasur) di kamar. Haha. Lagipula, saat keajaiban dan kemegahan alam begitu dekat dan nyata di depan mata, konsentrasi membaca bisa berkurang drastis. Kadang saya menyepi juga di perpustakaan atau cafe yang sepi. Biasanya sebelum janjian bertemu teman di cafe, saya sebisa mungkin datang lebih awal agar masih sempat membaca beberapa halaman sebelum direcoki dengan berbagi gosip ria. Dan ngomong-ngomong, membaca buku adalah cara paling efektif biar pelayan cafe berhenti menawari kita ‘mau pesan apa, kakak?‘ Haha.

Saya sebenarnya malu menuliskannya, toh berbuat baik seperti ini sama sekali bukan hambatan untuk membaca/menonton. Tetapi keterlibatan di sebuah organisasi sosial yang berkaitan dengan pendidikan dan perpustakaan di pelosok kadang membuat saya sering rapat sampai larut malam untuk merumuskan agenda dan strategi kerja, dan juga membuat waktu akhir pekan harus saya siasati bagi waktunya antara waktu pribadi untuk diri sendiri, bertemu dengan teman, menjelajahi tempat makan baru, menonton festival musik/film, menonton teater, kegiatan sosial, atau naik gunung dan liburan alam. Arghhh. Rasanya berharap memiliki kemampuan membelah seperti hydra, tetapi sayang perilaku sessility mereka, sama sekali tak cocok bagi saya.

Menonton film pun sama saja. Kadang saya nekat membawa tablet ke atas gunung, diniatkan untuk ditonton tapi tak pernah kesampaian. Bercengkerama dengan rekan, membaca buku, mendengar musik, bahkan sekedar bengong, lebih mengasyikan untuk dilakukan ketimbang nonton sehingga cita-cita untuk menonton film di gunung selalu kandas. Waktu luang untuk menonton kadang bisa terbantu kalau musim liburan panjang seperti lebaran. Suasana kerja yang kendor (dan tak ada bos, hehe) kadang sangat membantu untuk menamatkan beberapa episode serial yang sudah lama mengendap. Dan saya benar-benar baru kesampaian menonton film Out 1: Noli me Tangere (Jacques Rivette, 1971)–film komersial terpanjang di dunia dengan durasi 13 jam!– saat libur lebaran yang lalu karena akhirnya ada waktu kosong seharian tanpa diganggu teman atau kerabat. Gara-gara menonton film itu juga, saya tak melihat langit di luar rumah selama seharian penuh. Haha. Adanya beberapa festival film juga sangat membantu saya untuk menonton film-film yang meski saya sudah memiliki kopian filmnya, tapi tidak sempat ditonton dan akhirnya disaksikan di festival tersebut. Kadang ada beberapa film yang saking bagusnya ingin saya tonton ulang, tetapi tentu saja ini sama dengan janji hampa. Pemutaran di festival kadang membantu hal tersebut. Sepanjang tahun ini, hanya ada 2 film yang bisa saya putar ulang lebih dari dua kali. Ini pun sangat terpaksa karena saya sangat mengagumi setiap detail dan aspek dari film tersebut.

Kesibukan di akhir pekan juga semakin membuat saya semakin kesulitan menonton film-film terbaru di bioskop. Sebenarnya, ada alasan lain kenapa saya semakin jarang menonton di bioskop. Kebanyakan film-film populer yang diputar sudah semakin tidak cocok dengan selera saya. Saya hanya menonton kalau ada yang mengajak saja. Dan biasanya sering jatuh tertidur karena kebosanan melihat adegan monoton bang-bang-blah-blah-bang-bang-blah-blah yang disajikan di layar. Di tulisan bagian bawah, mungkin akan ditemukan kalau daftar yang saya tulis jarang sekali memasukan film-film berkategori blockbuster.

Serial TV apalagi. Makin payah. Sudah tertulis di poster besar target tahunan di kamar tidur, bahwa saya akan menonton ulang serial-serial lama seperti rencana palsu menonton 628 episode tersisa dari serial TV Star Trek (dari total 726 episode serial TV Star Trek termasuk kartunnya, saya hanya mampu menonton 4 musim dari Star Trek: Enterprise saja. Sisanya tak pernah punya waktu.) Arghhh. Janji gombal dan palsu untuk menonton sisanya yang dibuat setiap tahun, melarut seperti air teh yang dituang ke sungai. Hilang tak berbekas.

Dan melalui coretan-coretan berikut ini, saya akan berusaha memilihkan, buku, film, dan serial TV apa saja yang paling mengesankan yang saya saksikan sepanjang tahun 2015 ini.

*****

Dari sekitar 300-an film yang saya saksikan di tahun ini, jelas akan mengerikan jika harus saya ulas satu-satu. Maka, izinkanlah kalau saya hanya akan menuliskan daftar film-film yang dianggap terbaik dan rilisan tahun 2015 (atau rilis 2014 tapi baru secara internasional tahun 2015) saja. Dengan kriteria seperti ini, menjadikan pilihan saya sedikit lebih mudah karena hampir sepertiga yang saya tonton adalah film-film lama dan jadul. Haha.

5 Film Terburuk 2015
Tentu saja ada banyak film yang jauh lebih busuk ketimbang film-film yang saya masukan dalam daftar berikut. Film-film seperti Taken 3, Fifty Shades of Grey, The Fantastic Four, dll. Tetapi saya tak menyaksikannya di bioskop sehingga kesan jeleknya tak terlalu membuat saya keki setengah mati. Daftar berikut mungkin lebih tepat disebut sebagai film-film yang paling mengecewakan.

5. Mad Max: Fury Road (George Miller)
Memasukan film ini dalam daftar film terburuk, jelas terlihat seperti tindakan kurang ajar. Nyatanya, film ini konsisten masuk dalam daftar film terbaik di tahun ini hampir semua versi manapun, bahkan tak jarang memuncaki daftar. Dan justru itu yang membuat saya sangat kecewa saat menyaksikannya. Tak ada momen wow seperti yang saya harapkan seperti saat membaca review-reviewnya yang terlampau hiperbolis. Oh, mau film bertema thriller action dystopian post-apocalyptic penuh adegan-adegan absurd dan surealis dengan gurun yang mendominasi latar cerita? Coba tonton Na Srebrnym Globie (Andrzej Żuławski, 1988). Saya bahkan curiga banget, filmnya Miller mengkopi SEMUA adegan filmnya Żuławski.

4. Mortdecai (David Koepp)
Yang saya ingat saat keluar bioskop setelah menonton film ini adalah saya memesan pizza dan salad sekaligus, hal yang jarang terjadi karena biasanya memilih salah satu. Hal ini saya lakukan karena saya tak punya ide apapun tentang filmnya padahal jeda menontonya tak sampai sejam lewat. Dan ini bikin saya sangat lapar. Saya tak ingat ceritanya seperti apa, dan tak mau mengingat kembali apapun yang saya saksikan sebelumnya. 

3. Star Wars: The Force Awakens (J.J. Abrams)
Kecuali adegan kemunculan kanjiklub, semua adegan di film ini dapat ditebak dengan mudah. Sangat mudah. Terlalu mudah. Karena sejatinya film ini adalah cerita ulang ganti karakter dari A New Hope. Adegan peperangan dengan pesawat ruang angkasanya terlihat seperti tawuran anak SMK. Tak menggugah, tak canggih, dan tak ada kesan efek kolosal sama sekali. Pas pesawat musuh meledak, saya hanya bengong dan ngedumel, ‘udah, gitu aja?’

2. The Hateful Eight (Quentin Tarantino)
Kecuali gimmick kamera 70mm-nya ini. Tak ada hal-hal yang benar-benar baru. Dengan kata lain, membosankan.

1. Jurassic World (Colin Trevorrow)
Sebagai film yang membawa nama genre techno-thriller, film ini malah menjadi teen-flick dan tak ada jejak-jejak kepintaran sama sekali. Semua karakter di film ini pasang tampang bodoh. Coba aja lihat tampang para pegawai operator di wahana Jurassic World, semuanya pasang tampang bingung. Pun tokoh-tokoh utamanya yang tak meyakinkan kalau mereka punya latar belakang akademis yang memadai untuk membedakan antara apatosaurus dan brontosaurus. Bagian paling mengecewakan tentu saja saat film ini malah menjadi film monster ketimbang film tentang dinosaurus. Alih-alih menampilkan sosok dinosaurus baru karena perkembangan ilmu dinosaurus telah menghasilkan tambahan ribuan spesies baru sejak film trilogi terakhir dibuat, JW malah membuat monster buatan ketimbang spesies asli dan semua dinosaurus yang muncul adalah dinosaurus kadaluarsa yang muncul di trilogi pertama 20 tahun yang lampau. Argghh…

Sepertinya harus dibatasi 5 dulu saja deh. Soalnya kalau lebih dari itu nanti daftarnya semakin tak terkendali, dan semakin banyak caci maki yang terjadi. Haha. Jadi, langsung saja bahas ke,

20 Film Terbaik 2015
Daftar film di kategori ini sengaja dibuat lebih banyak, karena energi positif harus lebih banyak daripada energi negatif. Semakin banyak daftar yang ada dalam kategori film terbaik, akan mengundang aliran energi chi* positif di dalam blog ini dan mengalir lancar, serta mengusir aliran chi negatif. Haha.

20. Aferim! (Radu Jude)
Film koboy dengan latar di Eropa! Perlu keberanian dan keajaiban untuk bisa membuat hal seaneh itu terwujud. Dan berhasil.

19. Sicario (Denis Villeneuve)
Film action terbaik tahun ini, dimana batas kegilaan dan kebengisan berbaur menjadi satu.

18. 45 Years (Andrew Haigh)
Kalau belum menonton film Another Year (Mike Leigh) atau Amour (Michael Haneke), tentang pasangan tua yang diuji kesetiaan dan hakikat cinta di usia senja, bisa saja peringkatnya lebih tinggi.

17. It Follows (David Robert Mitchell)
Setelah menonton film A Girl Walks Home Alone at Night (Ana Lily Amirpour) tahun lalu, saya sudah pesimis duluan bahwa tak akan pernah ada film horor yang bisa memuaskan saya. Tapi saya dikejutkan oleh film David Mitchell ini. Tak secemerlang dan seestetik A Girl tentu saja, tetapi tetap saja saya dibuat terkagum-kagum karena kesabaran Mitchell yang membangun ketegangan dengan telaten dan rapi.

16. Amy (Asif Kapadia)
Amy broke my heart. Again.

15. Brooklyn (John Crowley)
Dalam daftar ini dan sisanya, mungkin inilah film paling sweet dan tanpa suasana nyentrik sama sekali. Historical romance yang benar-benar manis, lembut, dan harum. Dan rapuh.

14. Arabian Nights / As Mil e Uma Noites (Miguel Gomes)
Jangan pernah tertipu dengan judulnya. Meski mencatut embel-embel kisah seribu satu malam, isi film ini sama sekali tak berkaitan dengan epos klasik Timur Tengah tersebut. Film-film Miguel Gomes selalu membuat saya heran dan terkejut karena alur yang tak dapat ditebak.

13. Son of Saul / Saul Fia (Laszlo Nemes)
Ada banyak film yang dibuat untuk mengenang tragedi pembantaian Nazi. Tak semuanya berhasil dan sukses dalam menyajikan horor senatural mungkin tanpa melodrama berlebihan. Dan film ini adalah salah satu yang paling berhasil.

12. Phoenix (Christian Petzold)
Masih berkaitan dengan Nazi, tetapi kali ini mengambil sudut pandang cerita seorang istri yang harus mengoperasi wajahnya karena terluka perang dan menemui suaminya yang tak lagi mengenalinya. Apakah keputusannya sudah benar untuk mengoperasi wajahnya?

11. Ex Machina (Alex Garland)
Tak diragukan lagi, film fiksi ilmiah terbaik, terkeren, terhebat, dan ter-ter lainnya di tahun ini. Endingnya, ‘wow!’.

10. From Afar / Desde Allá (Lorenzo Vigas)
Film pertama Vigas. Film pertama… 

9. Taxi (Jafar Panahi)
Panahi mungkin sutradara paling kreatif saat ini. Dilarang membuat film oleh pemerintah Iran, tak pernah membuat Panahi kehilangan akal. Setelah mengejutkan dunia dengan This is Not a Film (2011) lalu, Panahi kembali menggebrak betapa membuat film dengan kondisi sangat terbatas, masih bisa dilakukan dengan hasil cemerlang dan teriakan pesan yang lantang.

8. Cemetery of Splendour / Rak Ti Khon Kaen (Apichatpong Weerasethakul)
Saya selalu membayangkan bahwa saat membuat filmnya, Weerasethakul sedang dalam kondisi mabuk oleh narkoba. Film-filmnya selalu seolah berhalusinasi, campur aduk antara imajinasi, fantasi, dan realita yang kabur.

7. Anomalisa (Charlie Kaufman & Duke Johnson)
Tak hanya menjadi stop motion terbaik, tetapi juga film animasi terbaik tahun ini. Film animasi dengan komedi gelap terbaik sejak Mary and Max (Adam Elliot, 2009).

6. The Lobster (Yorgos Lanthimos)
Yorgos Lanthimos selalu membuat film yang membuat kegiatan tertawa dan menggaruk kepala terjadi secara bersamaan, lalu dilanjutkan gerutuan, ‘orang yang bikin film ini pasti sakit’.

5. Gabo, the Magic of Reality (Justin Webster)
Sebagai salah satu penulis terbaik di milenium ini, Gabo harus dikenang dan dibuatkan biografinya dengan sangat pantas dan sempurna. Webster menjawab tantangan tersebut dengan keindahan yang membuat mata saya berkaca-kaca. Gabo yang dirindukan. Saya harus membaca ulang buku-bukunya. 

4. No Home Movie (Chantal Akerman)
Dalam dunia dan film-filmnya Chantal Akerman, waktu seolah lembam, cerita tak bergerak dengan plot yang tak pernah mencapai klimaks. Namun justru disitulah kejaiban dilahirkan. Pesan yang ingin disampaikan menggema tanpa berisik namun menghujam jauh sampai ke dalam.

3. Hard to Be a God / Trudno byt Bogom (Aleksei German)
Ini adalah film aneh yang menggabungkan film 2001: A Space Odyssey dengan Planet of the Apes dan Blade Runner, dan sesungguhnya film apapun bisa dimasukan ke film aneh ini.

2. The Assassin (Hou Hsiao-Hsien)
Hou Hsiao-Hsien membuat definisi baru sebuah film kungfu, detektif, dan seni. Mahakarya yang nyaris tak bisa dicari celahnya.

1. The Forbidden Room (Guy Maddin)
Kalau dibandingkan, Guy Maddin itu seperti Robert Delaunay, yang membuat lukisan-lukisan aneh “tanpa” makna kalau dilihat sekilas. Tapi semakin dianalisis, akan semakin panjang makna di tiap detailnya. Raja diraja segala film aneh ya Guy Maddin itu.

*****

Seperti ditulis sebelumnya, selain menonton film-film terbaru, kadang saya menonton film-film lama. Saking banyaknya mana yang harus saya sebutkan, saya sendiri sampai bingung. Apalagi banyak yang bagus-bagus. Haha. Tapi untuk menyebutkan sekedar contoh, saya sebutkan beberapa, ada Out 1 yang luar biasa panjang seperti ditulis di atas,  The Spirit of the BeehiveSupermen of Malegaon, dan lain-lain. Satu lagi yang harus saya sebutkan adalah Soy Cuba (Mikhail Kalatozov, 1964). Film ini adalah film propaganda komunis sehingga bagi beberapa orang akan merasa ada resistansi saat menontonnya, tetapi inilah film propaganda terindah yang pernah dibuat. Setiap detailnya benar-benar sangat-sangat indah. Setiap ayunan kamera Kalatozov terasa sangat puitis dan menghipnotis.

*****

Untuk serial TV, saya tak bisa bercerita banyak. Ada kekecewaan besar saat serial TV Hannibal dihentikan sementara, dan serial Mad Men akhirnya harus berakhir setelah melewati 7 musim yang menyenangkan. Untunglah episode terakhirnya, benar-benar sangat sempurna untuk sebuah saga modern luar biasa. Lalu kita beruntung ada penghiburan menyenangkan dari komedi satir Better Call Saul yang komedi tajamnya selalu sukses membuat saya tergelak. Dan oh, ada serial Fargo season 2 yang bahkan lebih lucu dan lebih sadis lagi ketimbang yang pertama. Kekecewaan terbesar tentu saja dari American Horror Story: Hotel yang penuh adegan sok-keren yang jadinya murahan. Pernah liat make up ibu-ibu ke kondangan yang pakai bedak tebal dan sanggul tinggi sampai harus menunduk kalau lewat pintu? Gak ada keren-kerennya sama sekali, yang ada adalah perasaan sedih prihatin betapa mereka terlihat ingin tampak terlalu keras untuk terlihat keren tapi gagal.

*****

Dan akhirnya, sampai juga ke seksi buku. Karena saya jarang membaca buku baru, jadi yang saya baca di tahun ini adalah buku-buku yang sudah beredar lama, alias buku-buku yang sudah dibeli (dan ditumpuk) sejak lama namun baru sempat terbaca. Sekarang saya punya kebiasaan buruk, sedikit terobsesi mengumpulkan buku-buku tebal (terutama yang berbahasa Inggris) padahal belum tentu dibaca dalam waktu dekat. Setiap mampir ke toko buku, bahkan cafe bookshop, atau sekedar berselancar di dunia maya saja, begitu melihat ada buku yang cukup menarik dengan rabat lumayan, biasanya saya beli. Akibatnya penambahan jumlah buku tak sebanding kecepatan membaca menghabiskannya. Bukannya saya tak berniat menyumbangkan. Di beberapa kegiatan perpustakaan yang saya lakukan dengan target pembaca anak kecil, jelas buku-buku saya belum tentu menarik dan dimengerti oleh mereka. Lagipula, karena berstatus belum dibaca, agak sayang juga kalau disumbangkan nantinya saya butuh dan ingin baca kan bakal merepotkan. Intinya, saya rakus dan pelit. Haha.

Saya juga jarang membaca buku berbahasa Indonesia, terutama sastra Indonesia terbaru. Ini menjadi kebiasaan buruk yang benar-benar ingin saya ubah tetapi selalu gagal. Ada banyak alasannya sih, tapi alasan terbesar sih biasanya karena menunggu diskon dulu, haha. Alasan lainnya adalah biasanya saya sering kecewa membaca buku yang heboh resensinya, tetapi pas dibaca menimbulkan reaksi ‘gitu doang?‘.

Ambil contoh Supernova: Gelombang (Dewi Lestari). Saya bukan fans setia serial Supernova, namun saya mengikuti serial ini dengan rutin. Ketika membaca seri ke-5, malah mengingatkan saya pada Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman El Shirazy). Novel macam apa ini? Atau Gadis Kretek (Ratih Kumala) yang di bawah ekspektasi. Bahkan nama besar novel Pulang (Leila S. Chudori) dan Amba (Laksmi Pamuntjak) hanya bisa membuat saya terkesan dengan gaya bahasanya namun tidak sebagai cerita utuh keseluruhan.

Salah satu buku paling mengecewakan (kalau tak dikatakan terburuk) yang saya baca di tahun ini mungkin salah satu novel di atas, andai saya tak membaca buku Borobudur & Peninggalan Nabi Sulaiman (Fahmi Basya) yang membuat saya ingin mengajukan petisi agar penulis dan penerbit buku ini dituntut atas nama kejahatan lingkungan dan intelektual. Untuk buku asing, kekecewaan terbesar datang dari Haruki Murakami. Ketika membaca Sputnik Sweetheart yang membuat muka saya seperti lapangan tenis, datar tanpa ada kejutan sama sekali. Dan saya harus mengakui kalau saya juga membaca Fifty Shades of Grey (E.L. James) yang membuat saya tak habis pikir, novel seburuk ini ada yang beli?

Untungnya, banyak buku bagus yang tetap bisa menjaga kondisi mood membaca saya agar tidak sampai tergelincir ke jurang kejeraan. Banyak buku biografi bagus yang saya baca tahun ini, mulai dari buku biografi nabi sains saya, Quantum Man: Richard Feynman’s Life in Science (Lawrence M. Krauss) yang dibaca saat mendaki ke Gunung Lawu, atau autobiografi An Appetite for Wonder dan The Pleasure Of Finding Things Out dari Richard Dawkins. Banyak juga sih daftar biografi lain yang bagus, misal buku First They Killed My Father (Loung Ung) yang sampai memaksa saya untuk mendaki Phnom Aoral.

115288-M
Membaca buku ini seperti membaca doa penyembuh

Untuk novel, yang menarik diantaranya The Sea, the Sea (Iris Murdoch) saat mendaki ke Gunung Rinjani, atau On the Eve (Ivan Turgenev) saat mendaki ke Gunung Merbabu. Ada juga novel Cain karya José Saramago yang nakal dan If on a Winter’s Night a Traveller (Italo Calvino) yang unik karena ceritanya berupa buku di dalam buku di dalam buku di dalam buku. Dan tentu saja novel Berlin Alexanderplatz (Alfred Döblin) yang membuat kerinduan saya pada novel-novel berjenis arus kesadaran terpuaskan dengan sempurna. Buku lain yang harus saya sebutkan adalah The Bell Jar (Sylvia Plath). Sedikit peringatan saya adalah jangan pernah membaca buku ini saat sedang stress dan ingin mengasingkan diri. Dan saya menjadi sangat penasaran dengan nama Thomas Pynchon setelah membaca novel Inherent Vice yang unik luar biasa. Jujur saja saya belum menemukan penulis lain yang gaya narasinya seperti ini.

Ah, tak ada penyembuh sebaik The Waste Land-nya T.S. Eliot yang di tengah kegalauan dan duka cita mendalam, membawa ketenangan tak terperi saat dibaca di puncak Gunung Manglayang. Pilihan kata-kata Eliot benar-benar mengena dan berkaitan dengan segala duka cita dan suka cita yang saya alami di tahun ini. Kata-kata Eliot seperti wahyu terpilih dengan kata-kata suci yang multitafsir. Dan jelas, akan menjadi buku puisi yang akan saya baca ulang berkali-kali di masa-masa mendatang.

*****

Di tahun 2016 ini, banyak utang yang harus saya tunaikan. Banyak buku yang harus dibaca, banyak film yang harus ditonton, banyak gunung yang harus didatangi. Sementara waktu yang semakin menyempit dan mencekik, membuat sifat serakah dan rasa ingin tahu saya semakin tak terpuaskan, dan gelisah. Ketabahan, adalah satu-satunya yang saya butuhkan. Dan itu bisa saya dapatkan dari film, buku, musik, dan gunung.

“He who was living is now dead
We who were living are now dying
With a little patience.”
― T.S. Eliot, The Waste Land

 

PS:

* = Qi alias chi (气) adalah konsep spiritual bangsa Tiongkok terhadap daya penggerak hidup yang membawa pengaruh bagi makhluk hidup. Ada dua aliran energi chi yakni chi positif yang membawa optimisme dan pengharapan, serta chi negatif yang membawa pesimisme dan kesengsaraan. Konsekuensi adanya aliran energi chi telah merambah dan mengakar erat dalam kehidupan bangsa Tiongkok. Keseimbangan antara chi positif dan chi negatif menjadi prinsip paling fundamental mulai dari pengobatan (akupuntur), seni bela diri, hingga tata ruang (feng shui), dan tentu saja filsafat. Sebenarnya, konsep ini tidak melulu monopoli bangsa Tiongkok. Bangsa lain mengenal konsep chi dengan berbagai nama. Dalam agama Hindu, namanya menjadi Prana. Orang Yunani aliran filsafat Stoic menyebutnya sebagai Pneuma (nama ini sangat berdekatan dengan udara dan paru-paru karena nilai pentingnya yang tak terelakan). Dalam tradisi Budha Tibet, namanya menjadi Lüng atau Ruah dalam tradisi Yahudi Kuno.  Orang modern zaman sekarang menyebutnya sebagai vitalitas. Dan dalam semesta epik Star Wars, nama chi berganti nama menjadi The Force.

Author: Qui

Climbing up the mountain of books and Reading a book while climbing the mountains

25 thoughts on “Terbaik dan Terburuk di 2015”

  1. wooooowww banget *prokprokprooookkkk….
    200 buku dan 305 film… ga tidur yaaa? bisa nyalesain buku dan film sebanyak ituuu…
    keren!

    Like

    1. Haha. Tidur dong. Bahkan kalau dihitung-hitung saya lebih banyak tidur ketimbang baca/nonton.

      Pasang target minimal baca sejam dan nonton 1 film per hari. Sisanya bakal mengikuti. Yuk, lebih banyak membaca dan menonton.

      Liked by 1 person

    1. Haha. Lah, kan emang slow. rekor-rekor di gr ttg jumlah baca buku tahunan jauuuuhh di atas saya. Haha.

      Saya baca ebook, tp kebanyakan komik. Haha. 70%an buku yg dibaca edisi cetak kok. Belum sanggup baca banyak ebook tanpa ada gambarnya terutama yang tebel, haha. Cuma baca kalau kebelet aja, itu pun harus dipaksa. Masih gak tega dg buku cetak betulan yg menggunung, haha. Lagian, apa enaknya baca ebook saat di jalan, di gunung, dll?

      Like

        1. Itu pertanyaan retorik sih sebenernya. Haha.

          Saya baca ebook kalau lagi di jalan, buku cetak gak dibawa/keburu tamat. Atau lagi pengen baca komik/novel grafis aja. Haha.

          Like

  2. Saya udah namatin Intelegensi Embun Pagi beberapa minggu yang lalu, akhirnya ketemu blog ini setelah baca review-nya di Goodreads. Saya nyari orang yang kira kira bisa paham bener tentang isinya, tapi nyatanya banyak juga ya kayak saya nasibnya :’D

    Saya pribadi suka sama Supernova KPBJ, dan buku terbaik menurut saya Akar. Karena bisa dibilang ngingetin diri sendiri. Makanya saya menanti banget IEP, yang nyatanya sampe sekarang bingung itu ngomongin apa.

    Awal mulanya, saya sempat terkagum kagum karena ternyata semua tokoh punya peran masing masing, sesuatu yang berada di luar ekspetasi saya. Bahwa Sati, Kell, Mpret, Bong, dkk ternyata punya peran penting -pendapat langsung berubah setelah namatin, karena “sayangnya” banyak yang tidak dieksekusi dengan baik. Saya malah sempet bertanya tanya, apa karena Dee sudah “lelah” makanya dia sengaja menulis semuanya di buku terakhir. Segala informasi dimasukkan mungkin bagi sebagian yang lain terlihat sebagai “penjelasan yang cerdas”, tapi saya malah kewalahan. Entah sayanya aja kurang cerdas atau gimana hehe.

    Saya sendiri menganggap bahwa IEP seharusnya dibagi 2 buku, anggaplah semacam film Mockingjay dibagi 2 seri. Karena penjelasan tumplek kayak buku itu malah bikin bingung, saya juga malah nggak ngerti kenapa mitos Sumeria bisa masuk di bagian akhir. Apa nyambungnya gitu. Dengan penjelasan ribet bla bla bla sejauh ini, okelah saya masih bisa menganggap masuk akal untuk mengaitkan samsara dengan kelima tokoh utama ini dan apa sesungguhnya tugas Peretas. Tapi saya jadi makin hilang arah setelah tahu Alfa ternyata punya peran lain lagi yang seharusnya sih diceritakan sejak awal di Gelombang. Dan saya sendiri sama sekali nggak kehilangan Alfa setelah apa yang terjadi, karena eksekusi kematiannya aja kayaknya lucu banget ya. Alfa terlalu mudah mati.

    Overall saya cuap cuap panjang lebar (sok) ngerti kayak gini setelah baca review dan tertarik ngunjungin blog ini, yang mana saya baca juga artikel ini. Saya jadi tertarik buat nonton beberapa film terbaik tahun ini setelah baca. Dan saya juga mau acungin jempol buat review film terburuk karena saya juga termasuk pembenci film macem 50 Shades of Grey, hehe.

    Liked by 1 person

    1. Hi Zahra,

      Terima kasih sudah mampir dan well… sudah berkomentar panjang. Haha.

      Ya, beberapa poin utama sudah kamu sebutkan. Poin yang lain sudah ditulis pereview lain di lapak lain, jadi gak perlu saya ulangi semuanya ya, Haha #padahal mah males, haha

      Ya, kesan tergesa-gesa IEP sangat kuat sekali. Pun penggarapan tokoh yg serampangan. Saya kehilangan respek sama sekali ketika tokoh-tokoh macam Pa Kus, Kell, dan infiltran lainnya tetiba menjadi pelawak gagal yg gak punya gawean di buku tsb selain ngeluarin lelucon basi. Gak ada mereka bantuin mencegah penculikan, dst. Dikatakan bakal mati dan perpisahan terakhir, tp hidup lagi hidup lagi. Bosenin. Ya sudahlah ya. Haha.

      Ayo, tonton film film favorit saya. Haha. Mari nikmati dunia sinema dg cara baru dan berbeda.

      Salam kenal,

      Qui

      Liked by 1 person

  3. Aku mengikuti ulasan-ulasan bukunya di goodreads mas. Di salah satu ulasan, ada tautan blognya. Jadilah aku terdampar di sini. Warbiyasak!

    Ingin rasanya nonton semua film yang berada di jajaran terbaik itu.

    Btw, salam kenal 🙂

    Like

    1. Hi Omnduut,

      Terimakasih sudah tersasar ke blog ini, haha. Apalah gubuk ini cuma segini adanya. Sila cicipi cemilan alakadarnya, nanti bayar sesuai yang dimakan. Haha.

      Untuk sebuah pengalaman sinematik baru dan berbeda, kamu memang harus mencoba menonton film yang saya sebutkan. Jika jenuh dengan film Holywood yang formulaic, maka film² tsb akan memberikan harapan dan penghiburan berharga, bahwa sinema bisa memberikan sesuatu yg lebih besar daripada sekadar hiburan belaka. Ayok tonton semuanya. Ahaha.

      Salam kenal. Sudah difolbek juga ya blog kerennya. Haha

      Regards,

      Q

      Liked by 1 person

Leave a reply to Qui Cancel reply