Gunung Phnom Aoral (Kamboja), Agustus 2015 [bag. 2]

“At Ongcor [Angkor], there are …ruins of such grandeur… that, at the first view, one is filled with profound admiration, and cannot but ask what has become of this powerful race, so civilized, so enlightened, the authors of these gigantic works?”

—Henri Mouhot, Travels in the Central Parts of Indo-China (Siam), Cambodia, and Laos During the Years 1858, 1859, and 1860

Perjalanan saya ke Kamboja adalah perjalanan untuk belajar mengenai penerimaan. Penerimaan bahwa apa yang kita miliki tidak sedahsyat yang kita kira–ada langit di atas langit, penerimaan bahwa keragaman sosial-budaya-historis tiap negara adalah unik, penerimaan bahwa sifat dasar manusia tak bisa ditentukan baik dan jahat semata, penerimaan bahwa dengan mengunjungi tempat lain akan memperluas cakrawala pemahaman kita untuk mengerti makna eksistensi kita. Meskipun itu harus dilakukan dengan cara yang menghentak, kadang. 

Sebelum saya melakukan pendakian ke gunung Phnom Aoral, selepas dari Thailand, saya menuju kota Siem Reap terlebih dahulu sebelum ke Phnom Penh untuk selanjutnya pergi ke gunung Phnom Aoral. Perjalanan 8 jam bis dari Bangkok menuju Siem Reap diisi dengan diskusi mengenai komunisme Amerika Latin karena dengan cara beruntung, saya duduk bersebelahan dengan seorang turis perempuan dari Chile. Di sela-sela istirahat mengobrol dengan si orang Chile karena dia lelah dan mengantuk, saya membaca buku First They Killed My Father (Loung Ung) dan diselingi Lonely Planet edisi Kamboja. Sudah menjadi kutukan sekaligus berkah bagi saya, kecuali kalau saya terlalu lelah, saya tak bisa tidur pulas saat berkendara. Jadinya, saya mengisi waktu dengan membaca.

Perjalanan dan pemandangannya sendiri tak istimewa. Berada di dataran rendah Sungai Mekong, lanskap antara Thailand-Kamboja yang kami lewati benar-benar monoton; dataran rendah pertanian, diisi sawah dan tegalan datar. Sejauh batas sapuan sampai cakrawala, tak ada bukit-bukit atau gunung yang tampak. Gegar baru terjadi saat bis kami memasuki Kamboja. Ada kecelakaan motor yang terlindas truk. Detail kecelakaannya benar-benar mengerikan, yang jelas jalan raya merah oleh darah. Bahkan dari kejauhan, terlihat tetesan darah dari jembatan… Kejadiannya sangat buruk, sementara para turis lain heboh karena penasaran berebutan ingin melihat, saya malah merepet ketakutan. Otot perut saya lemah kalau melihat kejadian seperti ini.

Tanda pengenal yang harus selalu dikenakan penumpang bis antarnegara
Tanda pengenal yang harus selalu dikenakan penumpang bis antarnegara

Ketika saya bertanya kemudian sesampainya di Kamboja, saya diceritakan bahwa kejadian seperti itu memang sering terjadi. Di Thailand, sopir menyetir di sisi kiri jalan, sedangkan di Kamboja, sisi kanan jalan yang digunakan sehingga saat memasuki pedesaan kecil, sang supir yang mengebut dan kadang lupa jalur kanan/kiri yang mesti dia tempuh dan ketika ada sepeda motor yang memotong jalan, banyak kejadian fatal terjadi. Makanya, ketika tetiba mesin bis kami mati mendadak di jalan, para turis banyak yang menjerit karena supir mau membanting stir ke arah kanan padahal itu melawan arus dari arah sebaliknya.

Ya, mesin bis kami sempat mati mendadak di tengah jalan, sehingga para penumpang harus turun dan menunggu di luar bis–mayoritas turis Eropa/Amerika, dan satu-satunya kehidupan yang ada di sana adalah sebuah toko kelontong kecil. Terjadi kehebohan saat transaksi karena hambatan bahasa dan mata uang. Para turis kebanyakan hanya memiliki dollar, sedangkan saat itu kami diperbatasan Thailand sehingga persediaan bhat kami sudah habis. jadi, biar dollar-nya gak rugi banyak, kebanyakan turis termasuk saya, memborong belanjaan banyak yang kalau dirupiahkan harga snack-snacknya paling sekitaran 1000-2000 IDR. Haha.

Saya langsung terpikat dengan kota Siem Reap begitu bis kami tiba di sana saat malam hari–kota kecil ini, benar-benar menyediakan segalanya untuk menjamu para turis, yang jadi penyokong terbesar roda ekonominya. Lampu dari berbagai hotel, restoran, pasar malam, pusat jajanan, spa, dll begitu semarak dan meriah. Kecuali para pegawai tempat-tempat tadi, semuanya adalah turis mancanegara. Kota ini memang sudah ditakdirkan untuk menarik para turis dari berbagai negara, karena kota ini punya keajaiban dunia terbesar dan salah satu yang terhebat yang pernah dibuat manusia dalam tujuh ribu tahun terakhir; Angkor Wat.

*****

Angkor Wat adalah sebuah mukjizat, sebuah kemustahilan, kehebatan pencapaian karena orang zaman dulu bisa membangunnya bisa disetarakan dengan pendaratan manusia di bulan. Mahadahsyat.

Saya tidak ingin membandingkan karya suatu bangsa dengan bangsa lain lalu menilai mana yang paling hebat. Hal ini adalah tindakan sia-sia karena tiap karya punya keunikan sendiri-sendiri. Tapi, saya harus mengatakan hal ini; ketika saya pertama kali menyaksikan Angkor Wat, mulut saya–benar-benar secara harfiah– membuka ternganga. Takjub, heran, kagum, dan terutama iri. Bangunan ini… bukan hanya bangunan batu terbesar di dunia, tetapi juga kota batu terbesar di dunia.

Benar, Angkor Wat, tidak seperti Borobudur, bukan struktur batu tunggal, tetapi sebuah kota dengan puluhan candi-candi raksasa bertebaran dimana-mana. Saya mengambil paket tur yang versi jalur pendeknya, diantar menggunakan tuktuk. Berangkat dari jam 4 pagi (demi mengejar sunrise) sampai 7 malam (demi sunset, keduanya gagal karena langit yang mendung, haha), yang jalur pendek itu saja, tak terjangkau semuanya. Begitu besar dan mahaluasnya sampai-sampai, ambil jalur singkat saja dengan kendaraan bermotor, lelahnya luar biasa dan banyak bagian harus dilewatkan. Proses pemugarannya bahkan belum selesai sejak tahun 1992–masih banyak bangunan candi yang dipasang garis pengaman untuk tak dikunjungi wisatawan karena masih pemugaran. Bahkan citra satelit terbaru mengindikasikan bahwa kota ini, bisa jauh lebih luas daripada yang sudah ditemukan.

Salah satu sudut di Angkor Wat
Salah satu sudut Angkor Wat, untuk menyusuri satu dinding ini saja, perlu waktu puluhan menit

Bayangkan, sebagai sebuah kota kuno terbesar sebelum abad industri, Angkor Wat bisa dipadankan dengan New York era kini. Menampung 0.1% penduduk dunia pada abad 11, Angkor adalah sebuah kompleks bangunan keagamaan terbesar di planet ini, 4x luas Vatikan City. Sebagai kota kuno yang sempat terlupakan–karena ditinggalkan kerajaan kuno dan genosida Khmer Merah–begitu dibuka kembali untuk umum, Angkor langsung mematahkan kebanggaan negara lain yang terlampau over-pede dengan situs bersejarah mereka. Sebelum Angkor dibuka untuk umum, Guatemala dengan bangganya mengumumkan Tikal yang dibangun bangsa Maya sebagai kota kuno terbesar pra-abad industri dengan luas 100 km². Berapa luas Angkor yang dibangun bangsa Khmer ini? Hampir 10x lipat Tikal. Bahkan konon, batu-batu yang ada di Angkor jauh lebih banyak ketimbang semua batu dari ratusan piramida di Mesir digabung jadi satu. Jadi, jangan tanyakan bagaimana perbandingannya dengan Borobudur, ya.

Ya, menyaksikan dengan mata kepala sendiri kedahsyatan Angkor, benar-benar membuka mata saya bahwa, kebanggaan kita terhadap situs milik sendiri mungkin terlampau berlebihan. Sejak masih sekolah dasar, kita diajari bahwa Borobudur adalah monumen dan candi terbesar, salah satu keajaiban dunia, dan hal-hal lain yang nyaris bersifat chauvinistik. Begitu melihat Angkor, semua perasaan dan kenangan tentang Borobudur terhempaskan ke dasar. Borobudur memang masih bisa dikatakan sebagai monumen budha tunggal terbesar, tetapi dengan banyak catatan kaki.*

Gerbang masuk menuju kompleks Bayon. Tinggi masing-masing wajah (bukan tinggi gerbang) mencapai 3.6 m.
Gerbang masuk menuju kompleks Bayon. Tinggi masing-masing wajah (bukan tinggi gerbang) mencapai 3.6 m

Ya, Angkor sangat mengesankan sekali. Padahal, kuil Angkor Wat yang terkenal itu, hanya satu dari 42 kuil raksasa lainnya di sekitar sana. Kuil lain yang mengesankan lainnya adalah Bayon. Kuil ini memiliki 39 menara tinggi (tingginya sampai 43 meter!) dengan patung wajah Budha raksasa di tiap puncaknya. Ada juga kuil Ta Prohm, kuil yang sangat eksotik ini dibeliti akar pepohonan raksasa bak ular boa constrictor mencengkram mangsa, yang menjadi ikonik setelah dijadikan tempat syuting film Lara Croft: Tomb Raider (Simon West, 2001). Bahkan, di Ta Prohm ada relief berbentuk dinosaurus!

Dengan ukuran dan jumlah yang sangat massif, pesona dan misteri Angkor memang luar biasa. Ketika Henri Mouhot, salah satu orang barat pertama yang mengenalkan Angkor kepada peradaban barat, datang pertama kali ke Angkor, dia terbelalak takjub dengan ukurannya. Dia bahkan mengira kalau bangunan ini dibuat peradaban purba dari suku yang telah musnah–sebuah ungkapan iri bahwa orang Khmer, dipenuhi prasangka kolonialis, tidak mungkin bisa membangun bangunan megah luar biasa yang melampaui peradaban bangsa Eropa. Nyatanya, Angkor baru berusia kurang dari seribu tahun dan melampaui semua kemegahan kolosal bangunan bangsa Eropa manapun.

Angkor adalah puncak mimpi dan idaman tertinggi semua sejarawan, fotografer, arsitektur, filmmaker, traveler, atau sekedar pejalan kaki dan pemimpi seperti saya.

*****

Saya tinggal di Siem Reap hanya dua hari, hal yang sangat saya sesali kemudian. Mengunjungi kompleks Angkor saja rasanya perlu waktu berminggu-minggu agar bisa merabai semua pelosok eksotismenya. Selama di sana, saya menginap di sebuah hotel Siem Reap Riverside. Saya bukannya ingin mempromosikan sebuah hotel sih, tetapi, di sana saya berjumpa seseorang perempuan dari Australia bernama Julia. Mendengar ceritanya, saya benar-benar kagum dengan upaya yang dia lakukan dalam puluhan tahun terakhir. Usianya, saya tebak, lebih dari 60 tahun. Fasih berbahasa Indonesia karena pernah menikah dengan orang Bali (meski dengan tersipu dia meminta maaf bahwa banyak kosakata yang sudah mulai dilupakan karena telah bercerai lebih dari 12 tahun), sekarang dia menghabiskan masa tuanya dengan melakukan bakti sosial di Siem Reap, mengajarkan bahasa Inggris atau apapun yang dibutuhkan anak-anak sana.

Hebatnya lagi, dia melakukan semuanya tanpa berafiliasi dengan lembaga amal manapun. Secara swadaya, tiap hari, dia datang ke sekolah-sekolah di sekitar Siem Reap. Banyak para pengemudi tuktuk dan guide setempat yang bisa berbahasa Inggris karena telah diajarkan olehnya, termasuk pengemudi tuktuk yang jadi pemandu saya selama keliling Angkor. Selama sembilan bulan tiap tahunnya, dia menghabiskan waktu mengajar di Siem Reap, dan tiga bulan sisanya pulang ke Australia untuk mengumpulkan dana tinggal di Kamboja dengan bekerja. Ah. Suatu hari nanti, saya ingin seperti dia, menghabiskan masa tua dalam sebuah gairah dan semangat untuk berbagi. Sayang saya tidak sempat berfoto dengan dia, tetapi saya akan mengenang dia sebagai Julie Andrews–wajah dan potongan rambutnya mirip Julie Andrews–dengan kehangatan dan mata bercahaya yang siap untuk ditularkan kepada anak-anak Siem Reap. Secara bercanda, saya menggoda dia untuk datang ke Jakarta. Ternyata dia sudah bertahun-tahun mengajar anak-anak di sekitaran Ancol. Sekarang dia ‘terdampar’ di Siem Reap. Dan dia jatuh cinta pada kota kecil itu. Bukan hal yang mengejutkan, mengingat dengan segala pesonanya, Siem Reap akan membuat orang gampang jatuh cinta pada kota ini.

*****

Dengan waktu yang terbatas sementara saya menargetkan ingin mengunjungi Phnom Aoral yang sudah pasti akan memakan waktu lama juga, awalnya saya tidak berencana mengunjungi danau Tonle Sap. Tetapi dengan jarak tempuh hanya sejam dari kota Siem Reap, saya memutuskan pergi ke sana. Dan saya tak menyesalinya. Perjalanan ini membuka mata saya tentang Kamboja dari sisi lain yang selama ini tak saya ketahui.

Tonle Sap bukan sebuah danau dalam pengertian biasa, tetapi merupakan bagian dari anak sungai Mekong yang melewati cekungan besar sehingga bagian sungai itu melebar sangat luas, saking luasnya ujung tepi danau ini tak terlihat, lebih mirip laut, tapi minus ombak. Secara ukuran, danau ini merupakan danau terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan Danau Toba. tapi, karena ini merupakan sungai yang melebar, dalamnya hanya semeter saja! Jika dalamnya Danau Toba rata-rata sampai ratusan meter, kedalaman Tonle Sap hanya 1-2 meter dalamnya, bagian terdalam hanya 10 meter saja. Danau ini sangat dangkal. Awalnya saya tak percaya, sampai si pengemudi kapal mencelupkan dayungnya, dan hanya sebagian kecil saja bagian dayung yang basah. Meski ukurannya bak segara kecil, karena sangat dangkal itulah maka danau ini tak berombak.

Tonle Sap yang nyaris tak berbatas. Warnanya yang keruh mengingatkan saya pada Bengawan Solo
Tonle Sap yang nyaris tak berbatas dengan rumah apungnya. Warnanya yang keruh mengingatkan saya pada Bengawan Solo

Bukan saja ukurannya yang menarik, bagian eko-sosialnya juga menarik (yang dijadikan atraksi wisatawan tersendiri). Di bagian tepi danau, dihuni semacam desa terapung (floating village). Tersebar di tepi danau, di sana bahkan ada pagoda terapung, gereja terapung, bahkan mesjid terapung, sesuatu yang terasa gasal berada di Kamboja. Asal-usul keberadaan mereka tak benar-benar jelas. Konon mereka datang ke danau karena bagian dari pengungsi korban rezim Khmer Merah. Dikejar-kejar dan diburu di darat, membuat mereka melarikan diri ke danau. Danau yang ukurannya sangat besar, membuat Khmer Merah tak punya kuasa menangkapi mereka semua. Akibat trauma inilah, mereka tak mau lagi kembali ke darat meski rezim Khmer Merah telah rubuh.

Karena tak mau kembali ke darat itulah, membuat status kewarganegaraan penduduk ini menjadi unik. Para penghuni desa terapung ini tak pernah kembali ke darat (meski danau tempat mereka bernaung sangat dangkal) sehingga mereka tak pernah memiliki kartu identitas kependudukan. Dengan kata lain, mereka tak diakui keberadannya di negara Kamboja meski Danau Tonle Sap sendri berada di jantung negara Kamboja.

Oleh karena itu, warga desa terapung harus bertahan secara swadaya, mengandalkan turisme dan bantuan NGO asing. Jadi, jalan-jalan ke sini siap-siap sedikit tricky. Scamming, tentu banyak. Pemandu rese dan mata duitan, juga pasti banyak, sehingga perlu kiat sendiri untuk bisa menikmati tempat wisata seperti ini. Tapi keberuntungan sedang berpihak kepada saya saat itu. Saya mendapatkan pemandu (merangkap supir kapal perahu) yang simpatik dengan bahasa Inggris lumayan fasih, sehingga saya tidak mendapatkan scamming berarti.

Ya, sebenarnya saya sedikit kurang setuju kalau kemiskinan dijual demi pariwisata. Tapi saya awalnya menduga kunjungan saya ke Tonle Sap hanya safari danau biasa. Paling banter mengunjungi pasar terapung ala Sungai Barito. Jadi ketika ternyata setelah tur singkat danau lalu masuk blusukan ke rumah panggung terapung… o well… ya sudahlah, nikmati saja.

Sekolah dasar yang menampung murid-murid yatim piatu. Jumlah siswanya mencapai 300 orang
Pusat Pendidikan dan Penampungan Anak-anak. Sekolah dasar yang menampung murid-murid yatim piatu. Jumlah siswanya mencapai 300 orang

Dengan akses ekonomi yang terbatas, kemiskinan sudah pasti membelit warga sana. Faktor lain selain sosio-politik seperti itu, juga karena faktor alam, membuat perekonomian di sana mandek. Danau Tonle Sap adalah danau yang berubah-ubah ukurannya tergantung musim hujan. Saat musim kemarau, ukurannya bisa berkurang sampai hanya tersisa dua per tiganya saja. Sedangkan saat musim hujan alias banjir, arusnya bisa menghanyutkan apa saja termasuk keramba ikan (mata pencaharian utama) bahkan nyawa penghuninya. Meski kedalamannya sangat dangkal, tetapi pada musim banjir, air bahnya sangat kencang, sehingga bisa menewaskan penduduk yang tak waspada.

Saking banyaknya warga yang meninggal karena air bah, sampai-sampai ada sekolah yang khusus menampung anak yatim piatu di sana, yang pendanaannya bergantung pada bantuan turis dan NGO asing. Para turis yang ke Tonle Sap akan diajak masuk ke sekolah tsb, dan sebelumnya mampir ke sebuah rumah apung yang merangkap toko kelontong untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari atau sekedar snack untuk anak-anak. Di sini mencuat sebuah kecurigaan, apakah ini semacam scam turisme atau murni bantuan kemanusiaan?–mengingat si pemilik toko lumayan gigih membujuk kita agar membeli dan membawakan barang buat kunjungan anak-anak.

Pemandangan senja di Tonle Sap harus saya akui, sangat mengesankan. Air kecokelatan sejauh padangan dapat menyapu kaki langit, tak dapat memantulkan warna matahari senja seperti segara biasa. Dan ada sensasi aneh saat saya mencium udaranya, kering tanpa aroma garam namun tak segar, udara di sana seolah mengantuk dan malas untuk bergerak. Di penghujung senja, pemandangannya sangat mendebarkan. Bumi diselimuti banyu cokelat, langit merah berdarah dengan kabut yang memucat. Saya sedikit merinding dan terguncang saat menyaksikannya, menimbulkan efek sureal yang mengancam.

*****

Ketika saya menginjakkan kaki di Kamboja, saya sudah berniat untuk menambahkan koleksi bacaan saya mengenai tahun-tahun berdarah Khmer Merah. Saya pikir, pasti mudah mencari buku tentang sejarah Kamboja di Kamboja. Nyatanya, saya kecele. Di Siem Reap, kota kecil kosmopolitan tujuan utama wisatawan asing, ada beberapa toko buku tempat para turis mencari bacaan. Di tiga toko buku yang dikunjungi, tak ada buku tentang fragmen sejarah kelam itu. Kebanyakan buku wisata dan sejarah gemilang masa lampau di abad-abad yang lebih lama. Sejarah kelam seolah dilupakan dan dianggap menganggu kehidupan Siem Reap yang sepenuhnya ‘hidup hanya untuk hari ini’. Kota ini terlalu terlena dengan kegiatan turismenya sehingga hal-hal serius, pedih, dan kelam tak ada tempat untuk ditampilkan. Bahkan, di museum sejarah Siem Reap, hanya ditampilkan sekilas mengenai era Khmer Merah, sisanya lebih banyak mengumbar Khmer era abad pertengahan yang membangun Angkor.

Bukannya tidak boleh sih, tetapi saya merasa ada bagian sejarah yang ingin dilupakan segera. Beberapa orang muda Kamboja yang saya temui memiliki bayangan samar-samar tentang sejarah berdarah yang bahkan belum berusia setengah abad itu. Sejarah kelam itu hanya bisa ditemui dan disaksikan sebagai pajangan museum tertentu saja. Seperti di tulisan saya sebelumnya, kekejaman Khmer Merah memang di luar bayangan terburuk dari yang terburuk.

Di situs peringatan Choeung Ek, ada puluhan ribu tulang belulang yang dikuburkan massal dalam satu areal. Saking banyaknya mayat yang dikubur, jika musim hujan, tampak belulang yang mencuat keluar dari tanah. Dan dari selebaran penjelasan museum, saya membaca hal-hal absurd yang dilakukan Pol Pot. Paranoia segala hal berbau barat dan ketakutan gerakan revolusioner, membuat Pol Pot melakukan kekejaman-kekejaman yang tak terbayangkan. Saking takutnya ada orang pintar yang protes, Pasukan Khmer Merah tak hanya membantai dokter, guru, insinyur atau profesi ‘intelek’ lainnya, tetapi juga mereka langsung menembak di tempat siapapun yang memakai kacamata, termasuk orang buta dan rabun. Kacamata dianggap simbol intelektualitas.

Karena dianggap terlalu mengerikan dan horor itulah, mungkin kisah mengenai Pol Pot sengaja ingin dikubur dan dijauhkan. Padahal, bagaimana bisa kita berdamai dengan masa lalu jika kita tak mengetahui kondisi gejolak apa yang terjadi di masa lampau? Melupakan tak akan membawa apapun selain rasa sakit yang akan terus membusuk, tak ada pelajaran yang dapat diambil selain pengulangan atas horor yang sama jika kembali terjadi. Ya, saya tahu, Kamboja (dan juga Indonesia) masih dalam kondisi dan stabilitas politik yang masih rapuh. Negara-negara ini masih tertatih dan masih bermimpi. Tapi malam-malamnya hanya akan diisi kegelisahan dan kecurigaan jika tidak ada pengakuan dan pemaafan.

Kebenaran, lebih banyak menyakitkan tetapi bisa menyembuhkan. Karena itu, harus diperlakukan secara arif. Dan untuk itu semua, dimulai dari kejujuran. Di Kamboja, saya malah terhantui oleh salah satu kutipan paling menghentak dari salah satu novel paling favorit saya sepanjang zaman,

“Above all, don’t lie to yourself. The man who lies to himself and listens to his own lie comes to a point that he cannot distinguish the truth within him, or around him, and so loses all respect for himself and for others. And having no respect he ceases to love.”
― Fyodor Dostoyevsky, The Brothers Karamazov

Note:
* = Istilah keajaiban dunia yang disematkan kepada Borobudur tidak pernah ditemukan dalam literatur asing, hanya klaim sepihak dari penulis lokal untuk meningkatkan semangat nasionalisme dan kebanggaan, semacam daftar spin-off dari 7 Keajaiban Dunia Kuno versi Antipater dari Sidon

Author: Qui

Climbing up the mountain of books and Reading a book while climbing the mountains

12 thoughts on “Gunung Phnom Aoral (Kamboja), Agustus 2015 [bag. 2]”

    1. Haha. Gak ada guru murid lah. Hayuk, saya pengen kesana lagi juga kok. Masih penasaran, banyak banget bangunan di sana yang belum saya tengok. Keburu kaki pegel, haha.

      Liked by 1 person

      1. Ayo ka di agendakan tahun depan sy free panjang ya ya . Ini serius ayo kita ngobrol, bbm 588C91DF, +6591038360 wa sy 🙆

        Like

                1. Ahaha. Setelah rekomendasi buku yg “When Breath Becomes Air” dan cerita operasi kamu, terus ngilang di bbm, saya jd mikirin macam-macam, haha. #kabur

                  Liked by 1 person

                2. Enggak, pokoknya sy tetap baik baik sj, meski harus membujuk tuhan lebih khusuk… #apa sih😂 . Ga main it lg malesssin. Yoh WAan linan aja… +6591045629

                  Like

Leave a reply to Qui Cancel reply