Gunung Gamalama, Maret 2015

Jujur saja, perjalanan saya ke Maluku Utara yang lalu adalah perjalanan paling tidak siap yang pernah saya jalanin. Haha. Pegal-pegal bekas hiking Lawu belum reda, harus sudah mulai hiking lagi. Yang parah adalah, tas keril eks-Lawu belum dibongkar sampai sore keberangkatan, sementara jam 8 saya harus sudah sampai bandara. Alhasil, ketika saya berkemas-kemas dan mengambil satu judul buku untuk dibawa liburan, saya tak melihat judul buku yang dibawa, langsung dimasukkan saja.

Jadi, bayangkan, saat di ruang lounge bandara dan saya mengeluarkan buku berjudul Religion for Atheists: A Non-believer’s Guide to the Uses of Religion karya Alain de Botton, teman-teman saya pada tarik nafas dalam dan memancarkan pandangan tuduhan you-must-be-fun-at-party sementara saya hanya bisa menatap pasrah minta maaf dengan pandangan memelas emangnya-saya-keliatan-mau-bawa-buku-ginian-buat-liburan? Alhasil, buku tsb hanya bisa terbaca belasan halaman saja saat menunggu di lounge bandara. Saat di Maluku, saya sendiri sudah lupa kalau saya pernah membawa buku tsb, haha.

Buku yang terbawa dan terlupakan saat pendakian ke Gamalama
Buku yang terbawa dan terlupakan saat pendakian ke Gamalama

Ini perjalanan perdana saya ke Maluku Utara, jadi saya sangat antusias sekali melihat nama kota-kota yang sebelumnya hanya bisa dibaca di atas peta saja. Begitu mendarat di bandara Baabullah di Ternate, kami langsung meluncur menyeberang dengan ferry ke kota Jailolo di Halmahera Utara. Kami memang berencana menjelajah pulau-pulau di luar Ternate dulu, baru di hari-hari terakhir akan kami habiskan di Ternate sambil hiking ke Gamalama. Begitu mendarat di pelabuhan Jailolo, saya langsung terpikat dengan kota ini. Lebih tepatnya, terpikat dengan aroma kota ini.

Kisah rempah-rempah Maluku sudah jadi legenda dan rebutan sejak berabad-abad lalu. Sementara Ternate dan Tidore terkenal dengan buah pala-nya, maka Jailolo terkenal dengan rempah cengkihnya. Begitu keluar dari pelabuhan, saya mencium aroma cengkih dimana-mana. Semerbak harum dan kesegaran memenuhi udara seisi kota, meningkatkan mood secara eksponensial untuk segera menitipkan tas di penginapan dan langsung memulai petualangan.

Saya sudah diperingati sebelumnya, kalau di Maluku sana, kalau tak berniat menyewa kendaraan mobil, jangan menawar di sekitar pelabuhan, karena mereka akan memaksa terus sampai kita terjerat. Namun, kami juga diperingati betapa baik hatinya para penduduk lokal di sana. Dan itu terjadi langsung saat kami sampai di penginapan: mendapat pinjaman motor gratis dari pemilik penginapan, hanya perlu isi bensin saja. Saya sampai lupa, berapa puluh kali saya harus mengucapkan terima kasih.

Menjelajah tempat baru seperti ini, saya langsung menunjukkan antuasiasme yang amat-amat sangat besar. Saking bersemangatnya, saya sampai menjatuhkan topi tiga kali saat ngebut dengan sepeda motor. Teman saya sampai ngomelin, “kayak anak SD aja kalau naik motor jatuhin topi.” Saya hanya bisa senyum lugu sambil membalas, siapa yang bisa menyalahkan saya jika saya harus nengok kiri-kanan-depan-belakang untuk menyesapi setiap pemandangan yang tersaji di Jailolo?

Oya, tips penting jalan-jalan di Jailolo, jangan tertipu dengan papan petunjuk arah lokasi tempat wisata di pelabuhan. Di depan pelabuhan Jailolo terdapat penunjuk lokasi wisata sebesar papan petunjuk arah yang ada di jalan tol di Jawa. Tapi, petunjuk lokasinya hanya sebatas itu saja tanpa tambahan papan petunjuk lain. Sisanya, kami harus menggunakan “GPS” (guide penduduk sekitar) lagi. Dan lagi, dan lagi.. Dan itu juga berarti, kami harus benar-benar blusukan untuk mencapai lokasi wisata. Bahkan, saat kami akan menuju Air Terjun Goal, begitu sampai ke desa yang dibilang ada air terjunnya, penduduk desanya tidak mengenali di mana letak air terjunnya. Duh.

Lokasi air terjunnya benar-benar tersembunyi di tengah hutan. Jalan menuju ke sana adalah jalan setapak yang ditutupi semak belukar. Kami harus merayap dan menerobos tanaman, melalui bekas jalan setapak yang sudah menghilang. Saya sampai penasaran, kapan terakhir kali ada orang yang ke air terjun tsb? Lalu apa gunanya papan penunjuk lokasi wisata depan pelabuhan jika itu satu-satunya petunjuk keberadaan lokasi ini tanpa penunjuk lain? Oya, dari pelabuhan ke lokasi air terjun, kami harus bermotor ria s.d. 3 jam lebih! Motor saya sampai tergelincir dua kali. Untung tidak ada kerusakan sehingga tidak perlu mengganti rugi kepada si pemilik penginapan yang baik hati.

Jika kota Jailolo terwarnai oleh mesjid-mesjid berukuran besar karena dulunya adalah bekas Kesultanan Islam Jailolo, maka daerah pinggiran Jailolo (seperti halnya daerah Maluku Selatan) lebih semarak dengan nuansa gerejanya. Bahkan jumlah gerejanya membuat saya heran. Dalam satu desa bisa terdapat berpuluh-puluh gereja, dengan jarak antar gereja hanya terpisah satu rumah saja. Kapasitas gerejanya bisa menampung ratusan orang, padahal jumlah penduduk desanya sendiri tidak sampai seribu orang. Bagaimana bisa gereja dalam jumlah banyak dengan kapasitas besar tapi penduduknya sedikit? Ternyata setelah diamati seksama, jenis gereja di sana berbeda-beda denominasinya. Ada gereja populer spt Gereja Masehi, Kalvinis, Lutheran, Perjanjian Baru, Bethany, Advent, Bethel, Pantekosta, bahkan Gereja Batak. Namun gereja yang ‘eksotis’ seperti Yohanes Pembaptis dan Yesus Sejati juga ada. Saya sampai heran, bagaimana bisa ragam aliran ini bisa berkumpul di satu desa yang penduduknya sedikit? Bagaimana proses kristenisasi terjadi di sana?

*****

Tempat terbaik di Jailolo sudah pasti pantai air hangatnya. Dipanaskan oleh geothermal karena aktivitas vulkanisme, Jailolo menawarkan tempat berendam di pantai terbaik karena airnya panas alami hampir seperti bathtub, tapi ukurannya sangat besar karena terhubung langsung ke laut lepas. Ada 3 pantai air panas di sekitar kota Jailolo; Galala, Bobo dan Payo. Yang terbaik adalah di Payo, karena air panasnya berupa laguna tenang sehingga tidak terganggu ombak lautan, airnya juga yang paling panas. Tapi aksesnya yang paling sulit juga, masuk ke areal perkebunan kelapa terpencil sehingga gampang bikin tersesat. Dan sekali lagi, tanpa petunjuk arah sama sekali.

Saya akan selalu mengenang pemandian panas di Jailolo: kami berloncat-loncat ria euforia kesenangan sambil teriak-teriak sehingga dilihatin warga yang keheranan. Tampang kami yang sama sekali tak menunjukan etnis timur Indonesia, benar-benar jadi ‘atraksi’ sendiri bagi warga di sana. Setiap berpapasan dengan orang lain selama di Jailolo bahkan saat di atas kendaraan, pasti dilihatin orang lain yang keheranan sehingga kami harus memasang senyum lebar sepanjang waktu. Jadi, kebayangkan, bagaimana tanggapan mereka melihat tingkah polah norak kami yang loncat-loncat di pantai air panas karena saat menginjak pasir yang panas dan teriak-teriak karena tak tahan dengan lantai pasir yang mendidih.

Saya membayangkan, para lobster atau yang kepiting yang direbus berteriak kesenangan saat airnya menghangat dan membuat nyaman, sebelum akhirnya terebus air yang terus mendidih. Perumpamaan yang kejam sih, tapi kami benar-benar mengalami hal serupa saat berendam air panas Jailolo. Kulit kami semua benar-benar memerah karena kepanasan. Tapi tak ada satupun dari kami yang berniat berhenti. Warga lokal bahkan ada yang berkerumun lihatin kami, karena jarang-jarang mereka melihat orang berkulit merah karena terebus air dan teriak-teriak histeris. Haha.

Hampir 4 jam kami berendam, bahkan sampai larut malam jam 9-an. Meski pantainya tanpa penerangan, suasananya masih cukup ramai karena ada beberapa penduduk sekitar yang juga berendam. Berbaring di pasir dan bebatuan seolah dipijat refleksi, kami benar-benar rileks dan nyaman tanpa merasa kedinginan sama sekali. Bayangkan saja, kami berbaring diam bergeming hampir selama 2 jam, berbaring saja di atas pasir sementara air hangat menyelimuti kami, menatap langit dan berbincang-bincang tentang banyak hal: sistem rasi bintang di langit, proses pembentukan geothermal, gejala entanglement partikel kuantum subatomik, konspirasi ekonomi dan harga minyak dunia, desain sandal jepit yang pas buat di pantai, bahkan tentang kartun Spongebob. Jenis-jenis obrolan yang tidak akan bisa muncul begitu saja di kehidupan sehari-hari kecuali dalam kondisi super santai seperti saat itu.

Menatap langit malam yang bertabur bintang, langit yang masih memerah bekas senja, siluet pulau-pulau jauh seperti Maitara dan Tidore. Dan, tentu saja puncak Gamalama yang anggun, melambai-lambai memanggil kami. Dan, diputuskan sudah, kami harus mendaki Gamalama setibanya kami di Ternate nanti.

*****

Alasan kenapa kami langsung menyeberang ke Halmahera terlebih dahulu, adalah karena saat di Jakarta, kami tergoda untuk mendaki gunung Gamkonora di Halmahera Utara, gunung tertinggi di pulau tsb. Opsi lainnya adalah gunung Kie Maburu (Tidore) dan Gamalama (Ternate).

Setibanya di Halmahera dan bertanya ke penduduk mengenai kemungkinan kami ke Gamkonora, hampir semua yang kami tanyai memberikan indikasi negatif: rute yang jauh, jalan yang buruk, desa terdekat yang kejauhan dan terpencil, dan terutama jalur pendakian yang tidak jelas. Juga fakta bahwa gunung ini masih sangat aktif. Jadi, dengan sangat terpaksa, kami mencoret opsi Gamkonora. Kami diwanti-wanti jangan ceroboh memilih rute pendakian yang tidak dikenal, karena ada kasus keluarga teman kami dinyatakan hilang saat mendaki Gunung Binaya di Pulau Seram. jadi opsinya tinggal Kie Maburu dan Gamalama.

*****

Saat kami berbaring dengan kepala berlandaskan bebatuan dan lantai pasir hangat berbalut air hangat di pantai air panas Jailolo, sembari ngobrol ngalor-ngidul tentang alasan kenapa laut di Maluku Utara tidak berwarna biru jernih meski airnya bening (penyebabnya adalah batuan piroklastik yang dimuntahkan gunung-gunung membentuk basement laut yang hitam pekat sehingga air laut menjadi gelap), di bawah langit senja, kami menatap pulau-pulau di kejauhan. Kedua gunung yang ingin kami tuju untuk didaki terlihat sangat jelas dan anggun, Gamalama dan Kie Maburu. Tetapi, hanya satu yang gagah tegas menjulang. Dikelilingi lampu-lampu kota Ternate yang semarak di kakinya, Gamalama memanggil kami untuk segera datang ke puncaknya. Datanglah! Datanglah!

There’s wind that blows in from the north
And it says that loving takes this course
Come here. Come here
–Kath Bloom, Come Here

Yes, kejadian banget, saat itu angin dari utara Halmahera berhembus meniup kami. Dan saya langsung teringat lagu Come Here-nya Kath Bloom yang ada di tautan youtube di atas. Terpesona dengan keanggunan Gamalama di senja hari, kami semua langsung setuju, kami harus mendaki puncaknya.

Untuk alasan yang sedikit nyeleneh, saya sedikit memahami mengapa komedian Dorce Gamalama ingin disebut sebagai ‘bunda’ oleh para penggemarnya. Haha. Bahkan, sejak dari atas pesawat, Gamalama sudah terlihat jelas menjadi “ibu” bagi pulau Ternate, gunung ini menyediakan air tawar segar, abu tanah kesuburan, kayu dan tanaman, intinya semua penyokong kehidupan dia berikan bagi pulau mungil ini. Ternate sendiri bisa dikelilingi dengan sepeda motor hanya kurang dari 2 jam.

Sebelum mulai mendaki, kami jalan-jalan ke tempat lain dulu. Ada kota Tobelo di Halmahera Utara yang sepi tapi memiliki restoran seafood yang super enak; kami menyempatkan keliling Tidore yang secara paradoks jika dibandingkan kembarannya Ternate pulau ini sangat sepi, semua kemegahan seolah tersedot oleh Gamalama sendirian. Membandingkan Ternate yang hiruk pikuk (kota ini bahkan hampir sama sibuknya dengan kota Bandung!) dengan kesenyapan Tidore seperti membandingkan antara Jakarta dan Serang. Dan tentu saja, kami menyempatkan snorkeling di Babua. Coba deh kalian buka google image, lalu ketik kata “pulau Babua Halmahera”. Saya gak bertanggung jawab jika keyboard kalian terjatuhi iler. Haha.

Karena kepanjangan banget kalau saya menceritakan detail tiap perjalanan, jadi terpaksa saya skip. langsung ke pendakian Gamalama saja. Haha. Tapi sebelumnya izinkan saya menceritakan sisi lain dari Maluku Utara.

*****

Ada 3 hal tentang reaksi sosial penduduk Maluku Utara (dan Indonesia timur pada umumnya) yang jarang saya temui di tempat lain. Pertama, karena tempat mereka jarang didatangi wisatawan, hampir selalu setiap bertemu bahkan berpapasan, selalu menatap ‘aneh’ kami. Baru tersenyum jika kami senyum duluan sehingga kami harus selalu memasang senyum lebar setiap saat. Konflik berkepanjangan, kecemburuan ekonomi terhadap pendatang, dan sistem kultur sosial yang beragam bahkan antardesa, membuat mereka ‘curigaan’ terhadap pendatang. Beberapa penduduk yang kami ajak ngobrol selalu terkaget-kaget saat kami bilang bahwa kami datang ke Maluku utara khusus untuk keluyuran liburan tidak jelas, haha. Kebanyakan mereka menduga kami mengunjungi kerabat, urusan kerja/kuliah, atau terlibat penelitian ilmiah tertentu. Tidak heran kenapa petunjuk arah situs wisata hampir tak ada dan tak ada fasilitas penunjang wisata.

Kedua, sifat ‘curigaan’ mereka bukan dalam artian curiga waspada terhadap orang asing yang terlibat kriminal. Lebih ke arah ‘heran’, karenanya mereka sangat baik hati terhadap kami meski memasang pandangan seolah memusuhi. Di Jailolo kami diberi pinjaman sepeda motor gratis. Di Tobelo kami diberi tumpangan penginapan cuma-cuma. Dan di Ternate, keburuntungan masih senantiasa mengikuti kami, kami berkenalan dengan penduduk setempat yang menawarkan guide keliling pulau, memberi pinjaman sepeda motor (dia sampai pinjam motor saudaranya sebagai tambahan agar cukup), dan yang paling terasa gak enak bagi kami, mereka menawarkan untuk menemani kami hiking! Berapa biaya yang harus kami keluarkan? Free 100%.

Saya dan teman saya sampai berkelakar, siapa diantara kami yang melakukan banyak derma sebelum berangkat ke Maluku Utara sehingga kami dilimpahi hujanan keberuntungan seperti itu. Yeah, tentu saja semuanya saling mengklaim termasuk saya. Haha.

Dan yang ketiga, di luar kebaikan hati yang luar biasa tsb, ada poin yang menghubungkan poin 1 dan 2, penduduk di sana kering secara humor. Mereka selalu memasang tampang serius. Teman saya yang memiliki selera humor lebih crispy daripada saya, pernah mencoba ngasih lelucon. Tanggapannya? Penduduk setempat menatap kaget dan syok karena diterjemahkan secara harfiah dan serius. Saya dan teman lain sampai tertawa terbahak-bahak menertawakan kekonyolan teman saya yang jokes-nya gagal total. Saya sebenernya sudah tahu tentang keringnya selera humor orang di sana. Jadi, saya menahan diri untuk tidak nge-garing seperti yang biasa saya lakukan. Tapi gara-gara menertawakan jokes yang gagal itu, kepala saya dikepruk buku. Kelak, saat pendakian, saya akan membalas tindakan ini, haha. #pasangkupluksembunyiintanduk

Keringnya humor bahkan menimpa teman Ternate saya yang menawarkan untuk menemani pendakian dan menjadi pemandu selama di pulau secara sukarela. Jadinya, selama mendaki, kami pasang tampang serius melulu. Tips dari saya dalam menghadapi obrolan mereka adalah, selalu pasang tampang antusias, ini sudah membuat mereka serasa dihargai. Ketimbang ngelontarin jokes yang sudah pasti banyak gagalnya. Haha.

*****

Hawa kaki Gunung Gamalama adalah sebuah keajaiban. Gunung ini harum semerbak. Saya benar-benar terbius dengan aroma harumnya gunung ini. Saya baru menyadari kenapa bisa gunung ini harum setelah menanyakan ke pemandu kami. Dan dia menunjukkan buah pala matang yang berjatuhan di sela-sela perkebunan. Saya mengambil satu biji, dan langsung menggigil. Jadi, inilah pohon yang keharumannya memanggil bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara empat abad silam. Buah yang menjadi berkah dan kutukan, buah yang mengubah drastis sejarah dan nasib bangsa-bangsa dunia tak hanya Indonesia. Melihat betapa rapuhnya buah ini (hanya sebesar rambutan dengan biji seperti biji lengkeng), saya tak habis pikir bagaimana bisa buah ini bisa mengubah takdir banyak bangsa? Berapa juta orang yang tewas demi memperebutkan buah kecil ini?

Rute Gamalama adalah hutan tropis lebat. Ini membuat kami sedikit kecele. Kami mengira rutenya adalah rute hutan biasa dengan jalur setapak yang tegas ala gunung-gunung di Jawa. Nyatanya, kami harus menerobos semak-semakan untuk menemukan jalur pendakian. Saya tidak bisa membayangkan jika tidak ada pemandu. Pasti kami banyak nyasarnya. Di beberapa tempat, ada jurang curam dengan medan super licin yang harus bikin hati-hati melangkah. Rute yang bikin ekstra hati-hati ini bakal terus ditemui hampir di 4/5 rute. Baru selepas pos 5, kami menemukan rute terbuka ala Mahameru di Semeru. Ini juga bikin kami kecele.

Di blog-blog perjalanan, dituliskan bahwa medan terbuka menuju puncaknya adalah pasir guguran ala Mahameru. Tetapi, kami datang setelah peristiwa letusan Gamalama bulan Desember 2014 lalu, artinya material batuan klastik muntahan menutupi lautan pasir tsb, sehingga medannya tertutupi batuan kerakal yang tajam, gampang longsor, dan lepasan. Salah melangkah atau terpeleset, bisa runtuh bebatuan sebesar tangan sampai kursi dari atas dan menimpa kami. Alhasil, kami terpaksa merayap menuju puncak.

Akibatnya perjalanan menuju puncak sangat lambat karena harus ekstra hati-hati agar tidak terjadi longsoran batuan karena terpeleset. Begitu sampai puncak, horornya semakin bertambah. Tanah di puncak Gamalama retak-retak karena bekas letusan yang baru. Sehingga kami tidak bisa berlama-lama karena takut tanahnya runtuh. Kami berada di puncak hanya kurang dari 2 menit, foto alakadarnya saja. Apalagi sejak letusan Desember 2014 itu, kawah Gamalama bertambah dari awalnya hanya satu saja menjadi empat, dalam kondisi aktif mengeluarkan asap.

Di sekitar puncak terdapat bekas tenda-tenda yang terkubur abu letusan. Kata pemandu kami, pada malam Gamalama meletus, ada beberapa pendaki yang berkemah dan mereka langsung lari tunggang langgang di malam buta begitu gempa vulkanik terasa dengan meninggalkan segala peralatannya. Tak heran, saat kami mendaki, hanya rombongan kami saja yang mendaki Gamalama. Sejak letusan tahun lalu, masih amat sangat sedikit orang yang berani mendaki puncak Gamalama lagi.

Seperti halnya Merapi bagi Yogya dan Lawu bagi Karanganyar, Gamalama dianggap sakral bagi penduduk Halmahera. Sebenarnya tidak bisa sembarang orang dapat mendaki gunung tsb. Harus izin ke penjaga kunci di Desa Mayo (desa terakhir sebelum pendakian di kaki Halmahera). Ketika turun dari puncak, kami berjumpa dengan penduduk lokal yang mau mengadakan ruwatan gunung. Dia sedikit kecut ketika tahu kami baru turun dari puncak, sebelum akhirnya dijelaskan oleh teman kami yang sama-sama penduduk Ternate kalau pendakian tsb tidak memiliki motif apa-apa selain pendakian turis biasa. Gamalama adalah ‘bunda’ bagi masyarakat Ternate, jadi seperti memperlakukan bundanya, masyarakat Ternate sangat menghormati gunung tersebut.

Pemandangan dari puncak Ternate sangat luar biasa. Pulau Maitara dan Tidore di selatan, Pulau Halmahera di timur, Pulau Hiri di utara, dan Laut Maluku di barat, semuanya terlihat jelas dan menimbulkan efek mendebarkan yang kuat. Mendebarkan selain karena pemandangannya yang luar biasa indah dan tak ada duanya, juga karena ketegangan takut tanah di puncak yang rawan runtuh dan rubuh ke kawah.

*****

Oya, saya belum menceritakan pembalasan dendam itu, haha. Jadi, teman saya yang jitak kepala saya dengan buku itu, nekat mendaki tanpa membawa trekking pole (tongkat pendakian). Padahal medannya selain licin juga curam. Jadi, setiap dia beraba-aba mau terpeleset, dengan senyum terbaik, saya memasang kamera saya untuk merekam momen kejatuhan tsb. Alhasil, saat ini saya memiliki kompilasi video kejatuhan teman saya yang beberapa diantaranya terlihat sangat konyol dan layak masuk acara America’s Funniest Home Videos. Setiap dia mengeluarkan gelagat menyebalkan, saya memposting video tsb di grup sehingga dia selalu mengalami skakmat. Haha. Ya, saya bisa sejahat itu, kadang. Pembalasan saya selalu lebih panjang terencana, lebih menyakitkan, lebih terstruktur, lebih massif, dan lebih sistematis. Haha.

Terhanyut oleh kedahsyatan puncak Gamalama, saya sudah merencanakan jika kelak, mungkin tahun depan, saya akan pergi ke Maluku Utara lagi. Ada banyak pulau yang belum saya datangi. Dari cerita teman saya yang orang Ternate itu, setiap pulau memiliki pesona, keunikan, dan keajaibannya sendiri. Dan saya, harus membuktikannya dengan mata kepala sendiri.

Author: Qui

Climbing up the mountain of books and Reading a book while climbing the mountains

7 thoughts on “Gunung Gamalama, Maret 2015”

Leave a comment